SELAMAT DATANG DI BLOG MAKALAH USHUL FIQIH YANG DISUSUN OLEH: زَيْنَلْ مَسْرِى SEMOGA BERMANFAAT DAN DAPAT MENAMBAH ILMU DAN WAWASAN KITA SEMUA...AMIIN..

Jumat, 28 September 2012

IJMA' SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM


MAKALAH USHUL FIQIH TENTANG
IJMA' SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM
Disusun Oleh: Zainal Masri
STAIN  Batusangkar
1.      Pengertian ijma’
Ijma’ secara bahasa berarti kebulatan tekad terhadap suatu persoalan. Atau kesepakatan tentang sesuatu masalah.[1]
 Ijma' secara bahasa juga bisa diartikan ( العزم والاتفاق ) Niat yang kuat dan Kesepakatan. Dan secara istilah berarti
اتفاق مجتهدي هذه الأمة بعد النبي صلّى الله عليه وسلّم على حكم شرعي
"Kesepakatan para mujtahid ummat ini setelah wafatnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap suatu hukum syar'."
Penjelasan :
1.      ( اتفاق ) "kesepakatan" yaitu  adanya khilaf walaupun dari satu orang, maka tidak bisa disimpulkan sebagai ijma'.
2.      ( مجتهدي ) "Para mujtahid" berarti orang awam dan orang yang bertaqlid, maka kesepakatan dan khilaf mereka tidak dianggap sebagai ijma'.
3.      ( هذه الأمة ) "Ummat ini" adalah  Ijma' selain mereka (ummat Islam), maka ijma' selain mereka tidak dianggap.
4.      ( بعد النبي صلّى الله عليه وسلّم ) "Setelah wafatnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah kesepakatan mereka pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tidak dianggap sebagai ijma' dari segi keberadaannya sebagai dalil, karena dalil dihasilkan dari sunnah nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam baik dari perkataan atau perbuatan atau taqrir (persetujuan), oleh karena itu jika seorang shahabat berkata : "Dahulu kami melakukan", atau "Dahulu mereka melakukan seperti ini pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ", maka hal itu marfu' secara hukum, tidak dinukil sebagai ijma'.
5.      ( على حكم شرعي ) "terhadap hukum syar'i" yaitu kesepakatan mereka dalam hukum akal atau hukum kebiasaan, maka hal itu tidak termasuk disini, karena pembahasan dalam masalah ijma' adalah seperti dalil dari dalil-dalil syar'i.

2.        Dasar Hukum ijma’
Para ulama ushul fiqih mendasarkan kesimpulan mereka bahwa ijma’ adalah sah dijadikan sebagai landasan hukum kepada berbagai argumentasi antara lain:
1.      Qs.annisa: 115

115.  Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu[348] dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.

[348]  Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan.
Ayat tersebut mengancam golongan yang menentang Rasulullah dan mengikuti jalan orang-orang yang bukan mukmin. Dari ayat tersebut dipahami, kata muhammad abu zahrah, bahwa wajib hukumnya mengikuti jalan orang-orang yang mukmin yaitu mengikuti kesepakatan mereka.
2.      Qs. Albaqarah; 143
7Ï9ºxx.ur öNä3»oYù=yèy_ Zp¨Bé& $VÜyur (#qçRqà6tGÏj9 uä!#ypkà­ n?tã Ĩ$¨Y9$#
"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia." (QS. Al-Baqoroh : 143)
Maka firmanNya : "Saksi atas manusia", mencakup persaksian terhadap perbuatan-perbuatan mereka dan hukum-hukum dari perbuatan mereka, dan seorang saksi perkataannya diterima.



3.      Qs. Annisa:59
( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur
. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),

Ini Menunjukkan bahwasanya apa-apa yang telah mereka sepakati adalah benar.
4.      Hadits
Bila para mujtahid telah melakukan ijma' tentang hukum syara' dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma' itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

 
Artinya: "umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
5.      Akal pikiran
Setiap ijma' yang dilakukan atas hukum syara', hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu.
Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur'an dan al-Hadits, karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan.
3.      Objek ijma’
Obyek ijma' ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalarn al-Qur'an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu'amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Qur'an dan al-Hadits
4.      Kehujjahan ijma’
Jumhur ulama berpendapat bahwa apabila rukun-rukun ijma’ telah terpenuhi maka ijma’ disebut menjadi hujjah qhat,i wajib diamalkan dan tidak boleh mengingkarinya bahkan orang yang mengingkarinya dianggap kafir
Alasan jumhur ulama ushul fiqih yang menyatakan bahwa ijma’merupakan hujjah yang qhat,idan menempati urutan ke tiga sebagai hukum syara’ adalah:
1.      Qs. Annisa: 59
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB 
 Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu (Qs. Annisa: 59)
Lafaz amr disini artinya urusan. Bebrbentuk umum. Meliputi urusan agama dan urusan duniawi. Uli ambri duniawi yaitu raja, pemerintah dan para wali. Uli ambri agama yaitu para mujtahid dan mufti. Sebagian ahli tafsir menafsirkan yang dimaksud dengan ulil ambri dalam ayat ini adalah ulama.dan sebagian lagi menafsirkan yaitu pemerintah dan para wali. Ulil ambri itu berkumpul dan memecahkan masalah tasyri’ para mujtahid itu harus diikuti dan hukum itu harus dilaksanakan. Allah berfirman:
( öqs9ur çnrŠu n<Î) ÉAqߧ9$# #n<Î)ur Í<'ré& ̍øBF{$# öNåk÷]ÏB çmyJÎ=yès9 tûïÏ%©!$# ¼çmtRqäÜÎ7/ZoKó¡o öNåk÷]ÏB 3
Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri[322] di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya

[322]  ialah: tokoh-tokoh sahabat dan para cendekiawan di antara mereka.
Allah mengancam orang yang mempersempit langkah rasul dan dan pengikut selain dari jalan allah: seperti firmanya:
`tBur È,Ï%$t±ç tAqߧ9$# .`ÏB Ï÷èt/ $tB tû¨üt6s? ã&s! 3yßgø9$# ôìÎ6­Ftƒur uŽöxî È@Î6y tûüÏZÏB÷sßJø9$# ¾Ï&Îk!uqçR $tB 4¯<uqs? ¾Ï&Î#óÁçRur zN¨Yygy_ ( ôNuä!$yur #·ŽÅÁtB ÇÊÊÎÈ
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu[348] dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.(qs.annisa: 115)
2.      Alasan jumhur ulama dari hadis adalah sabda rasulullah saw:
Artinya: "umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
Dalam hadis lain rasulullah saw bersabda: “saya mohon pada allah agar ummatku tidak sepakat melakukan kesesatan lalu allah mengabulkannya. (HR. Ahmad ibn hanbal dan Tabrani)
Lebih lajut rasulullah SAW bersabda: “ golongan umatku senantiasa berada dalam kebenaran yang nyata dan mereka tidak akan mendapat mudarat dari orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka (HR. Bukhari dan muslim)
Seluruh hadits itu menurut abdul wahab khallaf menunjukan bahwa suatu hukum yang disepakati oleh seluruh mujtahid sebenarnya merupakan hukum umat islam selurunya yang diperankan oleh para mujtahid mereka. Oleh sebab itu sesuai dengan kandungan hadits-hadits diatas tidak mungkin para mujtahid tersebut melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum. Apabila seluruh umat telah sepakat melalui para mujtahid merekamaka tidak ada alasan untuk menolaknya.
5.      Pembagian ijma’.
Menurut Abdul Karim Zaidan, ijma’ terbagi menjadi dua yaitu ijma’ sharih (jelas) dan ijma’ sukuti (diam/persetujuan yang diketahui lewat diamnya sebagian ulama’).
a.       Ijma’ sharih (jelas), yaitu kesepakatan seluruh para mujtahid baik dengan perkataan atau perbuatan terhadap suata masalah tertentu, setiap para mujtahid menyampaikan pendapatnya dengan jelas. Ijma’ seperti ini langka terjadi, apalagi dalam suatu majlis yang dihadiri oleh semua mujtahid pada suatu masa tertentu, sebagaimana pendapat al-Nazzam bahwa ijma’ seperti ini tidak mungkin terjadi. Tetapi jumhur ulama’ ushul berpendapat apabila hal ini terjadi dan menghasilkan suatu kesepakatan maka bisa dijadikan sebagai  hujjah syar’iyah dengan tanpa khilaf dan kekuatan hukumnya bersifat qath’i.
b.      Ijma’ sukuti (diam), yaitu kesepakatan sebagian mujtahid dalam suatu permasalahan dan sebagian mujtahid yang lain tidak berpendapat (diam) dan tidak mengingkarinya. Ijma’ yang kedua ini, para ulama’ masih berselisih pendapat  apakah termasuk hujjah syar’iyah atau tidak:
Menurut Al-Malikiyah dan Al-Syafi’iyah bukan ijma’ dan bukan hujjah syar’iyah karena diamnya sebagian mujtahid belum tentu menunjukkan kesepakatan.
Menurut Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah dianggap ijma’ dan hujjah qot’iyah karena diamnya sebagian mujtahid yang lain menunjukkan taslim dan sepakat terhadap permasalahan tersebut. Selain itu jika dilogikakan, bahwa ijma’ sharih yang harus disepakati oleh semua mujtahid yang hidup pada masa terjadinya ijma’ dan masing-masing mengemukakan pendapatnya serta menyetujui hukum yang ditetapkan, maka hal ini tidak mungkin terjadi karena biasanya ijma’ yang dikemukakan ulama’ berawal dari pendapat pribadi atau sekelompok mujtahid dan lainnya diam.
Lebih lanjut Abu Zahra menyatakan alasan yang dikemukakan oleh ulama Hanfiyah dan Hanabilah: Diamnya (sukut) para ulama tentang suatu hukum hasil ijtihad adalah setelah mempelajari dan menganalisis hasil ijtihad tersebut, dan mempelajari hasil ijtihad ulama lain adalah suatu kewajiban bagi para ulama’ dan jika mereka diam saja maka hal tersebut menunjukkan persetujuannya.
Adalah tidak layak jika ulama atau ahli fatwa tidak mendengar adanya fatwa lain, dan ulama lain harus mempelajarinya dan menanggapinya jika ada kesalahan dalam hasil ijtihadnya. Disamping itu, apabila para ulama’ lain yang tidak mengeluarkan fatwa menganggap fatwa itu menyimpang dari nash atau metode yang digunakan tidak sesuai dan mereka diam maka mereka berdosa.
Menurut Al-Karkhiy dari madzhab hanafiyah dan Al-Amidi dari madzhab syafi’iyah bahwa ijma’ sukuti adalah hujjah dzanniyah.
Lebih lanjut Abu Zahra menyatakan alasan yang dikemukakan oleh ulama Hanfiyah dan Hanabilah: Diamnya (sukut) para ulama tentang suatu hukum hasil ijtihad adalah setelah mempelajari dan menganalisis hasil ijtihad tersebut, dan mempelajari hasil ijtihad ulama lain adalah suatu kewajiban bagi para ulama’ dan jika mereka diam saja maka hal tersebut menunjukkan persetujuannya.
Adalah tidak layak jika ulama atau ahli fatwa tidak mendengar adanya fatwa lain, dan ulama lain harus mempelajarinya dan menanggapinya jika ada kesalahan dalam hasil ijtihadnya. Disamping itu, apabila para ulama’ lain yang tidak mengeluarkan fatwa menganggap fatwa itu menyimpang dari nash atau metode yang digunakan tidak sesuai dan mereka diam maka mereka berdosa.
Menurut Al-Karkhiy dari madzhab hanafiyah dan Al-Amidi dari madzhab syafi’iyah bahwa ijma’ sukuti adalah hujjah dzanniyah.[2]
6.      Kemungkinan Terjadi Ijma’
Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan adanya ijma’ dan kewajiban melaksanakannya. Jumhur berkata, “ijma’ itu bisa terjadi bahkan telah terlaksana”. Sedangkan pengikut Nizam dan golongan Syi’ah menyatakan, ijma’ itu tidak mungkin terjadi, dengan mengemukakan beberapa argumen, antara lain:
Pertama, sesungguhnya ijma’ yang dimaksudkan oleh jumhur tentang diharuskannya adanya kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa sehingga harus memenuhi dua kriteria:
a.       Mengetahui karakter setiap mujtahid yang dikategorikan mampu untuk mengadakan ijma’.
b.      Mengetahui pendapat masing-masing mujtahid tentang permasalahan tersebut.
Kedua, ijma’ itu harus bersandarkan kepada dalil, baik yang qath’i ataupun yang dzanni. Bila berlandaskan pada dalil qath’i maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu tidak membutuhkan ijma’. Sebaliknya bila didasarkan pada dalil yang dzanni, dapat dipastikan para ulama’ akan berbeda pendapat karena masing-masing mujtahid akan mengeluarkan pendapatnya dengan kemampuan berfikir daya nalar mereka, disertai berbagai dalil yagn menguatkan pendapat mereka
7.      Rukun-rukun ijma'
Jumhur ulama’ ushul fiqh mengemukakan bahwa rukun ijma’ itu ada lima, yaitu:
a.       Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid. Apabila ada diantara mujtahid yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan ijma’.
b.      Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia.
c.       Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pendapatnya.
d.      Hukum yang disepakati itu adalah hukum  syara’ yang bersifat aktual dan tidak ada hukumnya secara rinci dalam al-Qur’an.
e.       Sandaran hukum ijma’ tersebut haruslah al-Qur’an dan atau hadits Rasulullah.
Disamping kelima rukun di atas, jumhur ulama’ ushul fiqh mengemukakan syarat ijma’: yang melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijma’, kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap agama), dan para mujtahid yang terlibat adalah orang yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau perbuatan bid’ah.[3]

Dari definisi dan dasar hukum ijma' di atas, maka ulama ushul fiqh menetapkan rukun-rukun ijma' sebagai berikut:
  1. Harus ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya peristiwa dan para mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan (menetapkan hukum peristiwa itu. Seandainya tidak ada beberapa orang mujtahid di waktu terjadinya suatu peristiwa tentulah tidak akan terjadi ijma', karena ijma' itu harus dilakukan oleh beberapa orang.
  2. Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia Islam. Jika kesepakatan itu hanya dilakukan oleh para mujtahid yang ada pada suatu negara saja, maka kesepakatan yang demikian belum dapat dikatakan suatu ijma'.
  3. Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syara') dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu. Jangan sekali-kali tersirat dalam kesepakatan itu unsur-unsur paksaan, atau para mujtahid yang diharapkan kepada suatu keadaan, sehingga ia harus menerima suatu keputusan. Kesepakatan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan pernyataan lisan, dengan perbuatan atau dengan suatu sikap yang menyatakan bahwa ia setuju atas suatu keputusan hukum yang telah disetujui oleh para mujtahid yang lain. Tentu saja keputusan yang terbaik ialah keputusan sebagai hasil suatu musyawarah yang dilakukan para mujtahid.
  4. Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh sebahagian besar mujtahid yang ada, maka keputusan yang demikian belum pasti ke taraf ijma'. Ijma' yang demikian belum dapat dijadikan sebagai hujjah syari'ah.

5.      Mengaplikasikan Ijma’ di Zaman Kotemporer
Kontektualisasi Ijma’
1.      Ijma’ Pada Masa Klasik
Sejarah tasyri’ Islam telah menorehkan tintanya bahwa ijtihad pernah terjadi di masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar dan tidak seorangpun sahabat yang menafikan kenyataan itu. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Maimun bin Mahran bahwa jika khalifah Abu Bakar dan Umar dihadapkan dengan suatu pertentangan atau masalah, maka akan mencari jawabannya di dalam al-Qur’an atau sunnah Nabi, dan jika tidak menemukan jawaban maka mereka akan memanggil dan mengumpulkan para tokoh kaum muslimin pada saat itu dan para ulama’ untuk diajak musyawarah, berijtihad dan mencari jawaban, dan hal ini juga dikatakan oleh al-Juwaini. Dan merupakan bukan hal yang meragukan lagi bahwa pada waktu itu tidak semua para ulama’ yang dikumpulkan, karena para ulama’ tidak dalam satu tempat tetapi tersebar di berbagai daerah seperti di Makkah, di Syam dan di Yaman dan jika menunggu keseluruhan para ulama’ terkumpul maka akan membutuhkan waktu yang  lama. [4]
Contoh ijma’ yang dilakukan pada masa sahabat seperti ijma’ yang dilandaskan pada al-Qur’an adalah kesepakatan para ulama’ tentang keharaman menikahi nenek dan cucu perempuan berdasarkan QS. An-Nisa’ ayat 23. Para ulama’ sepakat bahwa kata ummahat (para ibu) dalam ayat tersebut mencakup ibu kandung dan nenek, sedangkan kata banat (anak-anak wanita) dalam ayat tersebut mencakup anak perempuan dan cucu perempuan.[5]
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa jika ada masalah yang tidak ditemukan jawabannya baik dalam al-Qur’an maupun Sunah maka bermusyawarah dengan para ulama’ untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Seperti khalifah Umar ketika itu mengumpulkan para sahabat untuk membahas masalah pembagian penghasilan hasil bumi Irak dan tanah-tanah taklukan lainnya yang merupakan ghanimah perang. Ternyata mereka sepakat untuk membiarkan tanah itu diolah penduduk aslinya dan tidak membagikannya kepada para pasukan. Demikianlah yang mereka lakukan sepanjang masa hayat hingga masa itu berganti dan orang-orang sepeninggal mereka menjalankan apa yang telah disepakati.[6]
2.      Ijma’ Pada Masa Modern
Salah satu hikmah yang dilimpahkan oleh Allah adalah bahwa Allah tidak menjadikan kandungan al-Qur’an berupa materi-materi yudisial yang terbatas  sebagaimna dunia matematika yang tidak memberi kemungkinan inovasi pemikiran kreatif (ijtihad).
Seiring perputaran yang terus-menerus dan perjalanan yang cepat, muncullah persoalan-persoalan baru yang belum dikenal oleh ulama terdahulu bahkan belum tersirat di benak para ulama’ salaf, sehingga hukum dan fatwa yang ditetapkan oleh ulama’ terdahulu tidak relevan lagi, dan hal inilah yang memotivasi untuk berijtihad lantaran berubahnya masa, tempat, adat dan kondisi serta keadaan masyarakat yang selalu berubah dan berkembang.[7]
Para cendekiawan Islam (ulama) banyak berbeda pendapat dalam menentukan terminologi konsensus (Ijma’). Perbedaan pendapat mereka, menurut Dr. Umar Sulaiman al-Asyqor, dilandaskan oleh dua hal: Pertama, Penentuan para personal yang mempunyai validitas untuk berkonsensus (dianggap konsensusnya). Kedua, Penentuan corak permasalahan-permasalahan yang dianggap dalam konsensus.[8]
Terlepas dari perdebatan soal terminologisnya, ia disepakati (al-Muttafaq Alaih) sebagai sumber hukum ketiga setelah al-Qur’an dan Hadits.
Dari posisinya yang ketiga tersebut, konsensus memiliki peran signifikan & kuat dalam pengambilan hukum-hukum Islam. Apalagi ia diakui terbebas dari kekeliruan (Ma’shumun An il-Khothoi) dan kesesatan, berlandaskan pada sabda Rasulullah SAW: “Umatku tidak berkonsensus dalam kesesatan” (HR. Ahmad & at-Thabarani).
Konsepsi konsensus dimulai sejak era sahabat (ash-Shahabah) setelah wafatnya Rasulullah saw. Hal itu terjadi dengan sistem syura ketika terdapat permasalahan yang tidak ditemukan jawabannya dalam al-Qur’an dan Hadits. Sistem syura tersebut tak lain adalah mirip dengan sistem ijtihad kolektif yang diterapkan oleh forum-forum ijtihad kolektif kontemporer. Karena menurut Prof. Dr. Wahbah az-Zuhayli, jika ijtihad dilakukan dengan sistem kolektif maka ia adalah konsensus (Ijma’), namun jika dilakukan secara individual maka ia adalah silogisme (Qiyas).[9]
Para ulama’ sepakat bahwa ijma’ merupakan dasar pengambilan hukum setelah al-Qur’an dan hadits Nabi, namun dalam aplikasinya masih terdapat perbedaan pandangan apakah ijma’ hanya terjadi pada masa sahabat saja atau apakah ijma’ dapat dilakukan pada masa sekarang.
Sebagaimana dikatakan oleh Yusuf Qardhawi bahwa seyogyanya dalam menyelesaikan permasalahan baru yang besar tidak cukup dengan ijtihad individu (fard) tetapi hendaknya melakukan tranformasi dari ijtihad fard ke ijtihad jama’i atau yang sekarang dikenal dengan istilah ijtihad kolektif, dimana para ilmuwan bermusyawarah tentang semua persoalan yang terjadi, terutama hal-hal yang bercorak umum dan sangat penting bagi mayoritas muslim, karena ijtihad kolektif lebih mendekati kebenaran daripada pendapat perseorangan. Hanya saja ijtihad kolektif bukan berarti membunuh ijtihad individu, karena ijtihad kolektif dari hasil penelitian orisinil yang diajukan oleh setiap mujtahid.[10]





[1] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005), h. 125
[2] Nasrun Haroen,. Op Cit., 56-59.
[3] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, h 54-56
[4] Abdul Majid Asy-Syarafi, Ijtihad Kolektif terjemah Syamsuddin TU (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002), h. 14-16.)
[5] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005), 127-128.
[6] Abdul Majid Asy-Syarafi,. Op. Cit., 18
[7] Yusuf Qardhawi, Ijtihad Kontemporer (Kode Etik dan Berbagai Penyimpangannya) (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), h. 6.
[8] Sulaiman Abdullah Al-Asyqor dan Umar, Nadzaratun Fi Ushul il-Fiqhi (Yordania: Daar un-Nafais), h. 12
[9] Wahbah Az-Zuhayli, Ushul ul-Fiqh il-Islami, jilid 1 (Damaskus-Suriah: Daar ul-Fikr), 486-48
[10] Yusuf Qardhawi, Ijtihad Kontemporer (Kode Etik dan Berbagai Penyimpangannya, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), 138-139


                                                                " Wallahu 'Alam"

2 komentar: