SELAMAT DATANG DI BLOG MAKALAH USHUL FIQIH YANG DISUSUN OLEH: زَيْنَلْ مَسْرِى SEMOGA BERMANFAAT DAN DAPAT MENAMBAH ILMU DAN WAWASAN KITA SEMUA...AMIIN..

Jumat, 28 September 2012

SADD AZ-ZARI’YAH


SADD AZ-ZARI’YAH
Disusun Oleh :  Zainal Masri 
09101023
1.      Pengertian Sadd Az-Zari’ah
Kata sadd  menurut bahasa berarti “Menutup” dan kata az-zari’ah berarti “wahsilah” atau jalan ke suatu tujuan. Dengan demikian sadd az-zari’ah secara bahasa berarti menutup jalan kepada suatu tujuan.
Imam al-satibi mendefenisikan dzari’ah dengan “melakukan suatu pekerjaan yang semula mengandung suatu kemaslahatan untuk menuju kesuatu kemasadatan.[1]
Maksudnya adalah seseorang melakukan suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatantetapi tujuan yang akan dia capai berahir pada suatu kemafsadatan.
Menurut istilah ushul fiqih seperti dikemukakan oleh abdul karim zaidan Sadd Az-Zari’ah berarti:
انه من باب منع الوسا ئل المؤديةإلى الفا سد
Artinya: menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan.[2]

2.      Dasar Hukum Sadd Az-Zari’ah
Dasar hukum saad al-dzari’ah ini terdapat dalam Al-Qur’an dan hadist nabi diantaranya:
  1. Q.S. Al-An’am ayat 108
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”
Pada dasarnya menghina dan mencaci penyembah selain Allah itu boleh saja, bahkan jika perlu boleh memeranginya. Namun karena perbuatan mencaci dan menghina itu menyebabkan penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah, maka perbuatan mencaci dan menghina itu menjadi dilarang.

    1. Q.S an-Nur ayat 31
”  janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
Sebenarnya menghentakkan kaki itu boleh-boleh saja bagi perempuan, namun  karena menyebabkan perhiasan yang tersembunyi dapat diketahui orang sehingga akan menimbulkan rangsangan bagi yang mendengar, maka menghentakkan kaki itu menjadi terlarang.

2.      Q.S al-Baqarah: 104
Dasar hukum saad al-dzari’ah ini juga terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 204 yang artinya: “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad) ‘raa’ina’, tetapi katakanlah: ‘unzurna’, dan dengarlah.” (Q,S. al-Baqarah:104).
Adanya larangan tersebut dikarenakan ucapan “ra’ina” oleh orang-orang  Yahudi dimanfaatkan untuk mencaci nabi. Oleh karena itu, kaum muslimin dilarang mengucapkan kalimat itu untuk menghindarkan timbulnya dzari’ah.

3.      Sabda Nabi Muhammad SAW tentang larangan menimbun harta

لا تحتكر الا خاطئ                                                                                                               
“tidak berbuat orang yang menimbun harta kecuali orang yang berbuat salah”.
Sebab penimbunan harta merupakan dzari’ah  (perantara) yang menyebabkan terjadinya kesulitan/krisis perekonomian dalam masyarakat.[3]

3.      Kehujjahan  Sadd  Az-Zari’ah
Meskipun hampir semua dan penulis ushul fiqih menyinggung tentang sadd az-zari’ah namun amat sedikit yang membahasnya dalam pembahasan khusus secara tersendiri, ada yang menempatkan bahasanya dalam deretan dalil-dalil syara’ yang tidak disepakati oleh ulama. Ditempatkannya al-dzari’ah sebagai salah satu dalil dalam menempatkan hukum meskipun diperselisihkan penggunaannya mengandung arti bahwa meskipun syara’ tidak menetapkan secara jelas mengenai hukum suatu perbuatan , namun karena perbuatan itu ditetapkan sebagai washilah bagi suatu perbuatan yang dilarang secara jelas maka hal ini menjadi petunjuk atau dalil bahwa hukum washilah itu adalah sebagaimana hukum yang ditetapkan syara’ terhadap perbuatan pokok. Masalah ini menjadi perhatian ulama karena banyak ayat-ayat alquran mengisaratkan kearah itu. Umpamanya:
a)      Qs. Al-an’am 6: 108
Ÿwur (#q7Ý¡n@ šúïÏ%©!$# tbqããôtƒ `ÏB Èbrߊ «!$# (#q7Ý¡uŠsù ©!$# #Jrôtã ÎŽötóÎ/ 5Où=Ïæ 3 y7Ï9ºxx. $¨Y­ƒy Èe@ä3Ï9 >p¨Bé& óOßgn=uHxå §NèO 4n<Î) NÍkÍh5u óOßgãèÅ_ó£D Oßgã¥Îm7t^ãsù $yJÎ/ (#qçR%x. tbqè=yJ÷ètƒ ÇÊÉÑÈ

108.  Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.
Sebenarnya mencaci dan menghina penyembah selain Allah itu boleh-boleh saja bahkan jika perlu boleh memeranginya. Namun karena perbuatan mencaci dan menghina itu akan menyebabkan penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah maka perbuatan mencaci dan menghina itu menjadi dilarang.

b)      QS. Al-Baqarah:104

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقُولُواْ رَاعِنَا وَقُولُواْ انظُرْنَا وَاسْمَعُوا ْوَلِلكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ 
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (Muhammad): "Raa'ina", tetapi katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah". Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (QS. Al-Baqarah:104)

Orang-orang Yahudi menggunakan lafal رَاعِنَا  untuk mencela atau mengumpat Rasulullah Saw.. Kemudian Allah melarang orang-orang mukmin untuk mengucapkan lafal ini agar dapat terhindar dari ungkapan yang kiranya dapat mencela RasulullahSaw.. Larangan menggunakan sarana tersebut adalah sadd al-dzarî`ah

c)      Qs. Annur 24: 31
Ÿwur tûøóÎŽôØo £`ÎgÎ=ã_ör'Î/ zNn=÷èãÏ9 $tB tûüÏÿøƒä `ÏB £`ÎgÏFt^ƒÎ 4 (#þqç/qè?ur n<Î) «!$# $·èŠÏHsd tmƒr& šcqãZÏB÷sßJø9$# ÷/ä3ª=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ÇÌÊÈ
Dan janganlah mereka (perempuan itu) memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Sebenarnya menghentakkan kaki boleh-boleh saja bagi perempuan namun karena menyebabkan perhiasannya yang tersembunyi dapat diketahui orang sehingga akan menimbulkan rangsangan bagi yang mendengar maka menghentakkan kaki itu menjadi terlarang.
Dari dua contoh di atas terlihat adanya larangan bagi perbuatan yang dapat menyebabkan sesuatu yang terlarang meskipun semula pada dasarnya perbuatan itu boleh hukumnya.[4]

4.      Macam-macam  Tingkatan  Sadd  Az-Zari’ah
Ada 2 macam pembagian dzariah
1.      Dzariah dilihat dari segi kualitas kemasadat annya
Imam asy-syatibi menyatakan bahwa dilihat dari segi kualitasnya dibagi kepada 4 macam
a.       Perbuatan yang dilakukan itu membawa itu membawa kepada kemassadatan secara pasti
b.      Perbuatan yang dilakukan itu boleh dilakukan karena jarang membawa kemasadatan
c.       Perbuatan yang dilakukan itu biasanya atau besar kemungkinan membawa kemasadatan
d.      Perbuatan itu pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatantaetapi kemungkinan juga perbuatan itu membawa kemasadatan
2.      Dzariah dilihat dari segi  kemasadat nannya yang ditimbulkannya
Menurut ibnu qayyimaljauziyah dzariah dari segi ini terbagi kepada
a.       Perbuatan itu membawa kepada ke suatu kemasadatan seperti meminum minuman keras yang mengakibatkan mabuk dan mabuk  itu kesuatu kemasadatan
b.      Perbuatan itu pada dasarnya perbuatan yang di bolehkan atau dianjurkan tetapi jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram bai dengan tujuan yang disengaja atau tidak.[5]

5.      Aplikasi Sadd Az-Zari’ah di Zaman Kotenporer
Banyak sekali kasus sehari-hari yang sebenarnya merupakan salah satu contoh kasus  Saddul Adz Dzari’ah. Hanya saja karena istilahnya yang kurang populer sehingga masyarakat kurang memperhatikannya.
                                   
Contoh Dalam Kehidupan Sehari-Hari
1)      Perbuatan yang akibatnya pasti menimbulkan kerusakan atau bahaya. Maka hukumnya dilarang secara kesepakatan ulama’.
Contoh: menggali lubang dibelakang pintu rumah atau dijalan umum.
2)      Perbuatan yang menurut dugaan kuat akan menimbulkan bahaya, atau pada kebiasaannya berakibat kerusakan. Hukumnya haram.
Contoh: menjual senjata dimasa perang atau banyak fitnah, menjual anggur untuk membuat khamr.
3)      Perbuatan yang kebanyakan mengarah pada kerusakan tetapi tidak sampai pada tingkat tinggi. Ulama’ berbeda dalam menghukuminya, apakah ditarjihkan yang haram atau yang halal. Imam Malik dan Imam Ahmad menetapkan keharamannya.
Contoh: menjual sesuatu yang didalamnya ada barang riba.
4)      Perbuatan yang jarang berakibat kerusakan atau bahaya. Maka dalam hal ini hukumnya diperbolehkan.
Contoh: melihat lain jenis disaat melamar.[6]




[1] Nasrun Haroen, Ushul Fiqih, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.161
[2] Satria efendi, Ushul Fiqih, (jakarta: kencana, 2005), h 172
[3] Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008 cet. 4 h. 399
[4] Amir Saripudin, Ushul Fiqih 2, (Jakarta: Kencana, 2009),  h. 425-427
[5] Totok Jumantoro, Kamus Ushul Fiqih, (Jakarta: Amzah),  h. 295
[6] Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), 59-60.

3 komentar:

  1. perpaduan warna tampilan tulisannya kurang pas,, agak sulit tuk dibaca,, masa ia,,monitor laptox mesti direbahin terus baru bisa kebaca,, heehe,, tpi makasih ya postingannya membantu saya

    BalasHapus
  2. ehm..,,ia sama2, maaf juga jika makalah nya kurang sempurna.., mkasih atas sarannya,,

    oh y,, trus apa warna tampilannya yg bagus??...

    BalasHapus
  3. animasi petirnya di buang aja karena mengganggu yang baca

    BalasHapus