1. Pengertian Ijtihad
Secara etimologi kata ijtihat berasal dari kata “al-juhd” yang berarti (daya, kemampuan,kekuatan), atau dari kata al-jahd yang berarti al-masyaqqah (kesulitan, kesukaran).dari itu ijtihad menurut pengertian kebahasaannya bermakna pengerahann daya dan kemampuan. Atau pengerahan segala daya dan kemampuan dalam suatu aktivitas dan aktivitas-aktivitas yang berat dan sukar.
Ijtihad secara bahasa juga diartikan dengan bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga, fisik maupun pikiran. Menurut imam alghazali kata ijtihad biasanya tidak digunakan kecuali pada hal yang mengandung kesulitan.
Menurut istilah ijtihad adalah menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum-hukum syari’at.
2. Dasar hukum ijtihad
1. Annisa: 59
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãè‹ÏÛr& ©!$# (#qãè‹ÏÛr&ur tAqß™§9$# ’Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt“»uZs? ’Îû &äóÓx« çnr–Šãsù ’n<Î) «!$# ÉAqß™§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
2. Hadist yang diriwayatkan oleh mu’az bin jabbal ketika ia akan diutus keyaman
“Dari al-Aris bin amr’ dari sekelompok orang teman-teman mu’az sesungguhnya rasulullah mengutus mu’az ke yaman maka beliau bertanya kepada mu’az atas dasar apa anda memutuskan suatu persoalan, dia menjawab dasarnya adalah kitab allah, nabi bertanya: kalau tidak ada ditemukan dalam kitab allah? Dia menjawab dengan sunnah rasulullah SAW, beliau bertanya lagi kalau tidak ada ditemukan dalam sunnah Rasulullah? Mu’az menjawab aku akan berijtihad dengan penalaranku, maka nabi berkata: segala puji bagi allah yang telah memberi taufik atas diri utusan rasulullah SAW” (HR. Tirmizi)
3. Objek Ijtihad
Menurut imam alghazali setiap hukum syara’ yang tidak memiliki qhat’i dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi menjadi 2
1) Syariat yang tidak bisa dijadikan lapangan ijtihad. hukum-hukum yang berdasarkan dalil qhat’i sebagai landasan pokok islam: yaitu kewajiban melaksanakan sholat.
2) Syariat yang bisa dijadikan lapangan ijtihad yang beradasarkan dalil zhanni serta hukum-hukum yang belum ada nashnya dan ijma’ para ulama
Abdul Mukallaf mengemukakan yang menjadi objek ijtihad adalah:
1) Hadist ahad yaitu hadis yang diriwayatkan oleh beberapa orang yang tidak sampai ke tingkat hadist mutawatir
2) Lapaz-lapaz atau redaksi alquran, hadis yang menunjukan pengertiannya secara tidak tegas
3) Masalah-masalah yang tidak ada teks ayat atau hadist dan tidak pula ada ijma’ yang menjelaskan hukumnya.
4. Syarat-Syarat dan Tingkatan Mujtahid
Menurut al-syaukani untuk dapat melakukan ijtihad hukum diperlukan 5 syarat
1. Mengetahui al-kitab alquran dan sunnah
2. Mengetahui ijma’
3. Mengetahui bahasa arab
4. Mengetahui ilmu ushul fiqih
5. Mengetahui nasikh (yang menghapuskan), dan mansukh (yang dihapuskan).
Syarat-syarat seorang Mujtahid
Wahbah az-zuhaili menyimpulkan ada 8 persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid:
1) Mengrti dengan makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat hukum yang ada dalam alquran baik secara bahasa maupun secara istilah syari’at
2) Mengetahui tentang hadist-hadist hukum baik secara bahasa maupun dalam pemakaian syara’ seperti halnya alquran
3) Mengetahui tentang mana ayat atau hadis yang telah di mansukh (telah dinyatakan tidah berlakulagi oleh allah atas rasulnNya), dan mana ayat atau hadist yang menasakh atau sebagai penggantinya.
4) Mempunyai pengetahuan tentang masalah-masalah yang sudah terjadi ijma’ tentang hukumnya dan mengetahui tempat-tempatnya.
5) Mengetahui tentang seluk beluk qiyas seperti syarat-syaratnya, rukun-rukunya, tentang ‘ilat hukum dan cara menemukan ‘ilat itu dari ayat atau hadits dan m,engetahui kemaslahatan yang dikandung oleh suatu ayat hukum dan prinsip-prinsip-prinsip umumsyariat islam
6) Menguasai bahasa arab serta ilmu-ilmu bantu yang berhubungan dengannya
7) Menguasai ilmu ushul fiqih seperti tentang hukum dan macam-macamnya, tentang sumber-sumber hukum atau dalil-dalilnya tentang kaedah-kaedah dan cara mengistimbatkan hukum dari sumber-sumber tersebutdan tentang ijtihad
8) Mampu menagkap tujuan syari’at dalam merumuskan suatu hukum
5. Tingkatan-tingkatan Mujtahid
Abu zahrah membagi mujtahid kepada beberapa tingkat yaitu:
1) Mujtahid mustaqil ( independen), adalah tingkat tertinggi oleh abu zahrah disebut juga sebagai al-mujtahid fi alsyar’i atau disebut juga mujtahid mutlak
2) Mujtahid muntasib, yitu mujtahid yag dalam masalah ushu lfiqih
3) Mujtahid fi al-mazhab, yaitu tingkat mujtahid yang dalam ushul fiqih dan furu’ bertaklid kepada imam mujtahid tertentu.
4) Mujtahid fi at-tarjih, yatu mujtahid yang kegiatannya bukan mengistimbatkan hukum tetapiterbatas memperbandingkan berbagai mazhab atau pendapat dan mempunyai kemampuan untuk mentarjih atau memilih salah satu pendapat terkuat dan pendapat-pendapat yang ada dengan memakai metode tarjih yang telah dirumuskan oleh ulama-ulama mujtahid sebelumnya.
6. Pembagian Ijtihad
Dari segi pelakunya:
1. Ijtihad fardi
Menurut al-Thayyib khuderi al-sayyid yang dimaksud dengan ijtihat fardi adalah ijtihat byang dilakukan perorangan atau hanya beberapa orang mujtahid. Minsalnya ijtihat yang dilakukan oleh para imam mujtahid besar; imam abu hanifah, imam malik, imam syafi’i, dan ahmadbin hanbal
2. Ijtihad jama’i (ijma’)
Sedangkan ijtihad jama’i adalah yang dikenal dengan ijma’ dalam kitab-kitab ushul fiqih yaitu kesepakatan para mujtahid dari umat muhammad SAW. Setelah rasulullah wafat dalam masalah tertentu.
Menurut al-‘Umari ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1) Masalah menentukan kelengkapan syarat-syarat sebagai seorang mujtahid yang akan ikut dalam ijtihad seperti ini diserahkan kepada penguasa muslim yang mengatur orang islam. Orang yang dipilih untuk mewakili umat di masyarakat tempat ia berada.
2) Disamping para ulama dilibatkan pula para pakar berbagai bidang ilmu sesuai dengan permasalahan yang akan di bahas
3) Jika terjadi perbedaan pendapat dalam sidang maka diambil pendapat dari ulama terbanyak
4) Penguasa hendaklah memberi insruksi untuk menerapkan hasil ijtihat jama’i ini kedalam kehidupan sehingga putusan ijtihad jama’i itu mempunyai kekuatan mengikat.
7. Metode ijtihad
Dalam upaya mendapatkan solusi hukum atas masalah yang muncul dalam kehidupan individual dan masyarakat, al syaukani menekankan bahwa metode ijtihad yang tepat untuk diterapkan adalah metode yang telah disebutkan dalam sunnah dan dipraktekkan oleh para sahabat, yaitu memberikan solusi hukum didasarkan atas kandungan kitab allah dan sunnah nabi SAW, untuk itu, al-syaukani mengemukakan sejumlah alasan dari alquran dan hadis yang memerintahkan agar orang berpegang kepada alquran dan sunnah dalam menetapkan hukum, seperti antara lain:
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãè‹ÏÛr& ©!$# (#qãè‹ÏÛr&ur tAqß™§9$# ’Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt“»uZs? ’Îû &äóÓx« çnr–Šãsù ’n<Î) «!$# ÉAqß™§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Metode-metode ijtihad juga meliputi yaitunya: ijma’, qiyas, istishhab, dan beberapa materi lain yang terkait dengan metode tersebut