Pengantar ushul fiqih
A. Pengertian, latar belakang dan objek kajian ushul fiqih
1. Pengertian ushul fiqih
1) Pengertian secara bahasa dan istilah
Ushul fiqih terdiri atas dua kata yaitu اصول dan الفقه dalam bahasa arab ushul merupakan jamak dari الاصل yang mengandung arti pondasi sesuatu baik bersifat materi maupun non materi. ( Dr.H. Nasroen haroen, MA, 1997 : 1)
Secara terminologi kata ashl mempunyai beberapa pengertian yaitu
a. Dalil atau landasan hukum seperti ungkapan para ulama ushul fiqih,minsalnya: ashal dari wajibnya sholat adalah firman allah dan sunnah rasul.”maksudnya yang menjadi kewajiban sholat adalah ayat alquran dan sunnah.
b. Qa’idah(dasar atau pondasi) seperti sabda rasul “الاسلا م علي خمسة اْصول بني" islam itu didirikan atas lima dasar atau fondasi
c. Rajih/الراجح (yang terkuat) seperti ungkapan para ahli ushul fiqih “ فى الكال م الحقيقةالاْصل “ yang terkuat dari kandungan dari suatu ungkapan adalaharti hakikatnya maksudnya, setiap perkataan yang di dengar atau dibaca yang menjadi patokan adalah makna hakikat dari perkataan itu.
d. Far’u (cabang), seperti ungkapan para ahli ushul fiqih “ فرع للاب الولد “anak adalah cabang adri ayah.
e. Mustashhab, memberlakukan yang ada sejak semula, selama tidak ada dalil yang mengubahnya, minsalnya: seseorang yang telah berwudu’ meragukan apakah ia masih suci atau sudah batal wuduk nya, tetapi ia merasa yakin betul belum melakukan sesuatu yang membatalkan wudu’, atas dasara keyakinannya ini, ia tetap dianggap suci (masih berwudhu’.
Dari pengertian ushul kelima di atas secara bahasa maka pengertian yang biasa dalam ilmu ushul fiqh adalahdalil yaitu dalil-dalil fiqih. (Dr.H. Nasroen haroen, 1997:3)
2) Pengertian ushul fiqih menurut ulama syafiiyah dan jumhur ulama
a. Ulama syafiiyah mendefenisikan ushul fiqih yaitu, mengetahui dalil-dalil fiqih secara global dan cara mengemukakannya,serta mengetahui keadaan orang yang menggunakanya
b. Adapun menurut jumhur ulama yang terdiri atas ulama hanafiyah, malikiah, dan hanabilah mendefenisikan ushul fiqih dengan” mengetahui kaedah-kaedah kulli (umum) yang dapat di gunakan untuk mengistimbtkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliahmelalui dalil-dalil yang rinci (Chairul uman, 1998;15)
2. Latar belakang ushul fiqih
Ketika nabi muhammad SAW, masih hidup, segala persoalan, hukum yang timbul langsung di tanyakan kepada beliau dan beliau memberikan jawaban hukum dengan menyebutkan ayat-ayat alquran. Ketika jawaban nya tidak ditemukan dalam alquran beliau memberikan jawaban melalui penetapan beliau yang disebut sunnah.
Dizaman rasulullah, sumber hukum islam hanya dua yaitu alquran dan sunnah.apabila muncul suatu kasus, rasulullah saw, menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka beliau menetapkan hukum tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits atau sunnah.
Dalam menetapkan hukum dari berbagai kasus di zaman rasulullah sawyang tidak ada ketentuannya dalam alquran, para ulama ushul fiqh menyimpulkan bahwa ada isyarat bahwa rasulullah, menetapkan melalui ijtihat. Hal ini dapat di ketahui dalam sabda beliau:
“sesungguhnya saya adalah manusia biasa,apabila saya perintahkan kepadamu sesuatu yang menyangkut agamamu, maka ambilah dia. Dan apabila aku perintahkan kepadamu sesuatu, yang berasala daripadaku, maka sesungguhnya aku adalah manusia biasa (HR. Muslim dari rafi’ ibn quda’i)
Dalam beberapa kasus, rasulullah saw, juga menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaanpara sahabat. Minsalnya: beliau menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan umar ibn khatab tentang batal tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya, rasulullah bersabda dalam hadisnya
“ apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa apakah puasamu batal?umar menjawab tidak apa-apa, (tidak batal), rasulullah saw kemudian bersabda, maka teruskan puasamu” (HR.al-bukhari, muslim)
Jadi rasulullah dalam hadis ini menurut ulama ushul fiqih mengkiaskan hukum mencium istri dalam keadaan berpuasa dengan hukum berkumur-kumur tidak membatalkan puasa. Jika berkumur-kumur tidak membatalkan puasa maka mencium istri juga tidak membatalkan puasa.
Cara-cara rasulullah saw, dalam menetapkan hukum inilah yang menjadi bibit munculnya ilmu ushul fiqih, karenanya para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa ushul fiqih ada bersamaan dengan hadirnya “fiqih” yaitu sejak zaman rasulullah saw.
3. Objek kajian ilmu fiqih dan ushul fiqih
Objek pembahasan ilmu fiqih ialah perbuatan orang dewasa (mukhallaf)di pandang dari dari hukum/ketetapan syariat hukum islam.
Sedangkan objek pembahasan ushul fiqih adalah dalil syar’i yang umum di pandang dari ketetapan-ketetapan hukum yang umum
Muhammad al Zuhaili ( ahli ushul fiqih dari syria) menyatakan bahwa yang menjadi objek kajian ushul fiqih adalah yang membedakannya dari kajian fiqih antara lain:
1. Sumber hukum islam atau dalil-dalil yang digunakan dalam menggali hukum syara’ baik yang disepakati seperti kehujjahan alquran dan sunnah, maupun yang diperselisihkan seperti kehujjahan istihsan dan maslahah almursalah.
2. Mencarikan jalan keluar dari dalil-dalil yang secara zahir di anggap bertentangan baik melalui aljam’u waltaufiq (pengkompromian dalil)tarjih ( menguatkan dalil-dalil yang bertentangan)minsalnya pertentangan ayat dengan ayat, ayat dengan hadis, atau pertentangan hadis dengan pendapat akal.
3. Pembahasan ijtihad, syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang melakukannya, (mujtahid) baik yang menyangkut syarat-syarat umum, maupun syarat-syarat kusus keilmuan yang harus dimiliki mujtahid.
4. Pembahasan tentang hukum syara’ yang meliputi syarat-syarat dan macam-macamnya, baik yang bersifat tuntutan untuk berbuat, tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, memilih antara berbuat dan tidak, maupun yang berkaitan dengan sebab, syaratsah, batal/fasad, ‘azimah, dan rhuksah.
5. Pembahasan tentang kaedah-kaedah yang digunakan dan cara menggunakannya dalam mengistimbatkan hukum dari dalil-dalil, baik melalui kaedah bahasamaupun melalui pemahaman terhadap tujuan yang akan dicapai oleh suatu nash (ayat atau hadits) (Abu hamid alghazali,1983: 7)
B. Tujuan dan ruang lingkup ushul fiqih
1. Tujuan ushul fiqih
Tujuan yang ingin dicapai dari ushul fiqh yaitu untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dali syara’ yang terperinci agar sampai pada hukum-hukum syara’ yang bersifat amali. Dengan ushul fiqh pula dapat dikeluarkan suatu hukum yang tidak memiliki aturan yang jelas atau bahkan tidak memiliki nash dengan cara qiyas, istihsan, istishhab dan berbagai metode pengambilan hukum yang lain. Selain itu dapat juga dijadikan sebagai pertimbangan tentang sebab terjadinya perbedaan madzhab diantara para Imam mujathid. Karena tidak mungkin kita hanya memahami tentang suatu hukum dari satu sudut pandang saja kecuali dengan mengetahui dalil hukum dan cara penjabaran hukum dari dalilnya. Para ulama terdahulu telah berhasil merumuskan hukum syara’ dengan menggunakan metode-metode yang sudah ada dan terjabar secara terperinci dalam kitab-kitab fiqh
2. Ruang lingkup ushul fiqih
Topik-topik dan ruang lingkup yang dibicarakan dalam pembahasan ilmu Ushul Fiqh ini meliputi:
a. Bentuk-bentuk dan macam-macam hukum, seperti hukum taklifi (wajib, sunnat, mubah, makruh, haram) dan hukum wadl'i (sabab, syarat, mani', 'illat, shah, batal, azimah dan rukhshah).
b. Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenal hukum (mahkum fih) seperti apakah perbuatan itu sengaja atau tidak, dalam kemampuannya atau tidak, menyangkut hubungan dengan manusia atau Tuhan, apa dengan kemauan sendiri atau dipaksa, dan sebagainya.
c. Pelaku suatu perbuatan yang akan dikenai hukum (mahkum 'alaihi) apakah pelaku itu mukallaf atau tidak, apa sudah cukup syarat taklif padanya atau tidak, apakah orang itu ahliyah atau bukan, dan sebagainya.
d. Keadaan atau sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum ini meliputi keadaan yang disebabkan oleh usaha manusia, keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia yang pertama disebut awarid muktasabah, yang kedua disebut awarid samawiyah.
e. Masalah istinbath dan istidlal meliputi makna zhahir nash, takwil dalalah lafazh, mantuq dan mafhum yang beraneka ragam, 'am dan khas, muthlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh, dan sebagainya.
f. Masalah ra'yu, ijtihad, ittiba' dan taqlid; meliputi kedudukan rakyu dan batas-batas penggunannya, fungsi dan kedudukan ijtihad, syarat-syarat mujtahid, bahaya taqlid dan sebagainya.
g. Masalah adillah syar'iyah, yang meliputi pembahasan Al-Qur'an, As-Sunnah, ijma', qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, mazhabus shahabi, al-'urf, syar'u man qablana, bara'atul ashliyah, sadduz zari'ah, maqashidus syari'ah/ususus syari'ah
C. Membedakan ushul fiqih dengan fiqih
Sebagaimana dimaklumi, bahwa Ushul Fiqh merupakan kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dalilnya yang terinci atau dapat disebut pula sebagai kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya. Sementara fikih adalah pemahaman tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang digali dan dirumuskan dari dalil-dalil yang terperinci.
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa Ushul Fiqh adalah kaidah-kaidah atau landasan argumentatif yang dipakai untuk melahirkan hukum syara’ (fiqih). Singkatnya, Ushul Fiqh merupakan metodologi/jalan yang dipakai untuk melahirkan hukum fikih, sedangkan Fikih merupakan produk hukum yang lahir lewat pengkajian metodologis Ushul Fiqh. ( http://zairifblog.blogspot.com/2010/11/perbedaan-ushul-fiqh-dengan-fiqh.html)
sejarah dan perkembangannya bagaimana.?
BalasHapusKak apa pengertian hukum tanfin dan hukum wajib dalam ushul fiqih?
BalasHapus