Disusun oleh: Zainal Masri
STAIN Batusangkar
1. Pengertian qiyas
Secara bahasa Arab berarti menyamakan,
membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B,
karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah
yang sama dan sebagainya.
Qiyas juga
berarti ukuran, minsalnya saya mengukur baju dengan hasta. Demikian pula
membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.
Pengertian qiyas
secara terminologi adalah terdapat beberapa defenisi yang dikemukakan oleh
ulama ushul fiqih sekalipun redaksinya berbeda tetapi mengandung pengertian
yang sama. Diantaranya sadral syari’ah. Menurutnya qiyas adalah memberlakukan
hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan karena ‘illat yang dapat dicapai
melalui pendekatan bahasa saja[1]
Menurut para ulama ushul fiqh, ialah menetapkan hukum
suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara
membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan 'illat antara kedua
kejadian atau peristiwa itu.
Minsalnya Telah terjadi suatu kejadian atau peristiwa
yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada nash yang dapat dijadikan
dasar untuk menetapkannya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh dengan cara
qiyas, yaitu dengan mencari peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya
berdasar nash, serta antara kedua kejadian atau peristiwa itu ada persamaan
'illat.
Jadi suatu qiyas hanya dapat dilakukan apabila telah
diyakini bahwa benar-benar tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar
untuk menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian. Karena itu tugas pertama
yang harus dilakukan oleh seorang yang akan melakukan qiyas, ialah mencari:
apakah ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari
peristiwa atau kejadian. Jika telah diyakini benar tidak ada nash yang dimaksud
barulah dilakukan qiyas contohnya sebagai berikut:
a. Minum narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu
diterapkan hukumnya, sedang tidak satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai
dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan
mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu
perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasar firman Allah SWT.
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsø:$# çÅ£øyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
(minum) khamr; berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah
tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu
hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan." (al-Mâidah:
90)
Antara minum narkotik dan minum khamr ada persamaan,
illatnya, yaitu sama-sama berakibat memabukkan para peminumnya, sehingga dapat
merusak akal. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum meminum
narkotik itu yaitu haram, sebagaimana haramnya meminum khamr.
b. Si A telah menerima wasiat dari B bahwa ia akan
menerima sebidang tanah yang telah ditentukan, jika B meninggal dunia. A ingin
segera memperoleh tanah yang diwasiatkan, karena itu dibunuhnyalah B. Timbul
persoalan: Apakah A tetap memperoleh tanah yang diwasiatkan itu? Untuk
menetapkan hukumnya dicarilah kejadian yang lain yang ditetapkan hukumnya
berdasar nash dan ada pula persamaan 'illatnya. Perbuatan itulalah pembunuhan
yang dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya, karena
ingin segera memperoleh harta warisan.
Sehubungan dengan itu Rasulullah SAW
bersabda:
Artinya:
"Orang
yang membunuh (orang yang akan diwarisinya) tidak berhak mewarisi." (HR.
Tirmidzi)
Antara kedua peristiwa itu ada persamaan 'illatnya,
yaitu ingin segera memperoleh sesuatu sebelum sampai waktu yang ditentukan.
Berdasarkan persamaan 'illat itu dapat ditetapkan hukum bahwa si A haram
memperoleh tanah yang diwariskan B untuknya, karena ia telah membunuh orang
yang telah berwasiat untuknya, sebagaimana orang yang membunuh orang yang akan
diwarisinya, diharamkan memperolah harta warisan dari orang yang telah
dibunuhnya.
c. Ketidak bolehan bersikap kasar dalam bentuk memukul
orang tua yang dianalogikan kepada ketidak bolehan berkata kasar yang
menyakitkan sebagaimana yang ditunjukan dalam surat al-isra: 23[2]
2. Dasar hukum qiyas
Dalam hal penerimaan ulama terhadap qiyas sebagai
dalil syara’, muhammad abu zahrah membagi menjadi 3 kelompok:
a) Kelompok jumhur ulama yang menjadikan qiyas sebagai
dalil hukum syara’. Mereka menggunakan qiyas dalam hal-hal tidak terdapat
hukunya dalam nash alqur’an dan sunnah dan ijma’ ulama. Mereka menggunakan
qiyas secara tidak berlebihan dan tidak melampaui batas kewajaran.
b)
Kelompok
ulama zhahiriyah dan syi’ah dan imamiyah yang menolak penggunaan qiyas secara
mutlak. Zahiriah juga menolak penemuan ‘ilat atas suatu hukum dan menganggap
tidak perlu mengetahui tujuan ditetapkannya suatu hukum syara’
c) Kelompok yang menggunakan qiyas secara mudah mereka
pun berusaha menggabungkan dua hal yang tidak terlihat kesamaan ‘ilatdiantara
keduanya: kadang-kadang memberikan kekuatan yang lebih tinggi terhadap qiyas
sehingga qiyas itu dapat dapat membatasi keumuman sebagian ayat alqur’an dan sunnah.
Dalil yang dikemukakan jumhur ulama
dalam menerima qiyas sebagai dalil hukum syara’:
a.
Al-Qur'an
1)
Allah SWT
memberi petunjuk dalam penggunaan qiyas dengan cara menyamakan dua hal sebagai
mana yang terdapat dalam surat yasiin: 36:78-79
z>uÑur $oYs9 WxsWtB zÓŤtRur ¼çms)ù=yz ( tA$s% `tB ÄÓ÷Õã zN»sàÏèø9$# }Édur ÒOÏBu ÇÐÑÈ
ö@è% $pkÍósã üÏ%©!$# !$ydr't±Sr& tA¨rr& ;o§tB ( uqèdur Èe@ä3Î/ @,ù=yz íOÎ=tæ ÇÐÒÈ
78. Dan ia membuat
perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: "Siapakah
yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang Telah hancur luluh?"
79.
Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali
yang pertama. dan dia Maha mengetahui tentang segala makhluk.
Ayat ini menjelaskan bahwa allah menyamakan kemampuannya
menghidupkan tulang belulang yang telah berserakan di kemudian hari dengan
kemampuannya menciptakan tulang belulang pertama kali.
Kelompok
zahiriyah menolak argumentasi ini.mereka mengatakan bahwa allahtidak pernah
menyatakan bahwa ia mengembalikan tulang-belulang oleh karena ia menciptakannya
pertama kali.
2)
Allah
menyuruh menggunakan qiyas sebagaimana di pahami dari beberapa ayat alquran
seperti dalam surat alhasyr: 59:2
((#rçÉ9tFôã$$sù Í<'ré'¯»t Ì»|Áö/F{$# ÇËÈ
Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang
mempunyai wawasan.
Penjelasan ayat itu diantaranya dapat dilihat dalam keterangan yang
diriwayatkan dari tsalab. Ia berkata bahwa al-‘itibar dalam bahasa arab berarti
mengembalikan hukum sesuatu kepada yang sebanding dengannya. Ia dinamai “ ashal”yang
kepadanya dikembalikan bandingannya secara ibarat. Dalam hal ini allah
berfirman. Qs. Aliimbran: 13
cÎ) Îû Ï9ºs Zouö9Ïès9 _Í<'rT[{ Ì»|Áö/F{$# ÇÊÌÈ
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang
yang mempunyai mata hati.
Kalau seseorang
berkata: saya mengi’tibarkan pakaian ini kepada pakaian yang ini. Maksudnya:
dia menyamakan dalam hitungan. Inilah yang dinamakan dengan qiyas.
b.
Dalil Sunnah
Diantara dalil sunnah yang dikemukakan jumhur ulama
sebagai argumentasi bagi penggunaan qiyas adalah:
Artinya:
"Bagaimana
(cara) kamul menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu?
Mu'adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur'an. Jika engkau tidak
memperolehnya dalam al-Qur'an? Mu'adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah
Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu'adz
menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha
sungguh-sungguh. (Mu'adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata:
Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat
Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya." (HR.
Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi)
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa seorang boleh
melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan
ayat-ayat al-Qur'an dan al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak
cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu diantaranya ialah
dengan menggunakan qiyas.
Rasulullah SAW pernah menggunakan qiyas waktu menjawab
pertanyaan yang dikemukakan sahabat kepadanya, seperti:
Artinya:
"Sesungguhnya seorang wanita dari qabilah
Juhainah pernah menghadap Rasullah SAW ia berkata: sesungguhnya ibuku telah
bernadzar melaksanakan ibadah haji, tetapi ia tidak sempat melaksanakannya
sampai ia meninggal dunia, apakah aku berkewajiban melaksanakan hajinya?
Rasullah SAW menjawab: Benar, laksanakanlah haji untuknya, tahukah kamu,
seandainya ibumu mempunnyai hutang, tentu kamu yang akan melunasinya. Bayarlah
hutang kepada Allah, karena hutang kepada Allah lebih utama untuk
dibayar." (HR. Bukhari dan an-Nasâ'i)
Pada hadits di atas Rasulullah mengqiyaskan hutang
kepada Allah dengan hutang kepada manusia. Seorang anak perempuan menyatakan
bahwa ibunya telah meninggal dunia dalam keadaan berhutang kepada Allah, yaitu
belum sempat menunaikan nadzarnya untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian
Rasulullah SAW menjawab dengan mengqiyaskannya kepada hutang. Jika seorang ibu
meninggal dunia dalam keadaan berhutang, maka anaknya wajib melunasinya. Beliau
menyatakan hutang kepada Allah lebih utama dibanding dengan hutang kepada
manusia. Jika hutang kepada manusia wajib dibayar tentulah hutang kepada Allah
lebih utama harus dibayar. Dengan cara demikian seakan-akan Rasulullah SAW
menggunakan qiyas aulawi.
c.
Perbuatan sahabat
Para sahabat Nabi SAW banyak melakukan qiyas dalam
menetapkan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya. Seperti alasan
pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Menurut para sahabat Abu Bakar lebih utama
diangkat menjadi khalifah dibanding sahabat-sahabat yang lain, karena dialah
yang disuruh Nabi SAW mewakili beliau sebagai imam shalat di waktu beliau
sedang sakit. Jika Rasulullah SAW ridha Abu Bakar mengganti beliau sebagai imam
shalat, tentu beliau lebih ridha jika Abu Bakar menggantikan beliau sebagai
kepala pemerintahan.
d.
Akal
Tujuan Allah SWT menetapakan syara' bagi kemaslahatan
manusia. Dalam pada itu setiap peristiwa ada yang diterangkan dasarnya dalam
nash dan ada pula yang tidak diterangkan. Peristiwa yang tidak diterangkan
dalam nash atau tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya ada yang
'illatnya sesuai benar dengan 'illat hukum dari peristiwa yang ada nash sebagai
dasarnya. Menetapkan hukum dari peristiwa yang tidak ada nash sebagai dasarnya
ini sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan berdasar nash karena ada
persamaan 'illatnya diduga keras akan memberikan kemaslahatan kepada hamba.
Sebab itu tepatlah kiranya hukum dari peristiwa itu ditetapkan dengan cara
qiyas.[3]
3.
Kehujjahan
qiyas
1.
Jumhur ulama
ushul fiqih berpendapat bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metode atau sarana
untuk mengistimbatkan hukum syara’ bahkan syar’i menuntut pengamalan qiyas
2.
Para ulama
mu’tazilah berpendapat bahwa qiyas wajib diamalkan dalam dua hal saja yaitu:
a)
‘ilatnya
mansukh 9disebutkan dalam nash), baik secara nyata maupun melalui isyarat.
Minsalnya dalam hadis rasulullah SAW
“ dahulu saya melarang kamu
menyimpan daging qurban untuk kepentingan adh-dhuaffah (para tamu dari
perkampungan badhui yang datang kemedinah yang membutuhkan daging
qurban)sekarang simpan lah daging itu. (HR. Bukhari, muslim, nasa,i, atturmizi,
abu daud dan ibnu majah)
b)
Hukum far’u
harus lebih utama dari hukum ashal minsalnya mengkiaskan hukum memukul kedua
ibu bapak kepada hukum mengatakan “ah” kepada keduanya karena keduanya
sama-sama bersifat menyakiti bagi kedua orang tua. Dalam hubungan ini menurut
mereka pemukulan lebih berat hukumannya daripada mengatakan “ah”
3.
Ulam
zahiriyah termasuk as-saukani berpendapat bahwa secara logika, qiyas memang
boleh, tapi tidak ada satu nash pun dalam ayat alquran yang menyatakan wajib
pelaksanaanya. Argumentasi ini menunjukan menolak pendapat jumhur ulama yang
mewajibkan pengamlan qiyas
4.
Ulama syiah
imamiyah dan annazzam dari mu’tazilah mengatakan bahwa qiyas tidak bisa dijadikan
landasan hukum dan tidak wajib diamalkan, karena kewajiban mengamalkan qiyas
adalah sesuatu yang bersifat mustahil menurut akal
4.
Rukun dan
syarat qiyas
Rukun qiyas
Adapun rukun qiyas adalah sebagai
berikut:
1.
Ashl yang
berarti pokok, yaitu suatu pristiwa yang telah ditetapkan hukum berdasarkan
nash. Ashl disebut juga maqis ‘alaih (yang menjadi ukuran), atau musyabbabih
(tempat menyerupakan), atau mahmu alaih (tempat membandingakan)
2.
Far’u yang
berarti cabang, yaitu suatu pristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena
tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara’ disebut juga maqis,
(yang diukur), atau musyabbah (yang diserupakan), atau mahmul (yang
dibandingkan), seperti pengharaman wisky
dengan mengqiyaskannya kepada khamar.
3.
Hukum ashl hukum dari
asal yang telah ditetapkan berdasarkan nash dan hukum itu pula yang akan
ditetapkan pada fara’ seandainya ada persamaan ‘ilatnya.seperti keharaman
minuman khamar. Adapun hukum yang ditetapkan oleh far’u pada dasarnya merupakan
buah (hasil) dari qiyas dan karenanya tidak termasuk rukun.
4.
‘ilat, yaitu suatu
sifat yang ada pada ashl dan sifat itu yang dicari pada fara’. Seandainyasifat
yang ada pada fara’ maka persamaan sifat yang menjadi dasar untuk menetapkan
hukum fara’ sama dengan hukum ashl[4]
Sebagai contoh adalah menjual harta anak yatim adalah
suatu peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat
dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa ini disebut fara'. Untuk menetapkan
hukumnya dicari suatu peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya
berdasar nash yang illatnya sama dengan peristiwa pertama. Peristiwa kedua ini
memakan harta anak yatim yang disebut ashal. Peristiwa kedua ini telah
ditetapkan hukumnya berdasar nash yaitu haram (hukum ashal) berdasarkan firman
Allah SWT:
¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù't tAºuqøBr& 4yJ»tGuø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù't Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y$tR ( cöqn=óÁuyur #ZÏèy ÇÊÉÈ
Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang memakan
harta anak yatim secara dhalim sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh
perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)."
(an-Nisâ': 10)
Persamaan 'illat antara kedua peristiwa ini, ialah
sama-sama berakibat berkurang atau habisnya harta anak yatim. Karena itu
ditetapkanlah hukum menjual harta anak yatim sama dengan memakan harta anak
yatim yaitu sama-sama haram.
Dari keterangan di atas dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1.
Ashal, ialah
memakan harta anak yatim.
2.
Fara', ialah
menjual harta anak yatim.
3.
Hukum ashal,
ialah haram.
4.
'Illat,
ialah mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim.
Syarat
–syarat qiyas
Telah diterangkan rukun-rukun qiyas. Tiap-tiap rukun
itu mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
a.
Ashal dan
fara'
Telah diterangkan bahwa ashal dan fara' berupa
kejadian atau peristiwa. Yang pertama mempunyai dasar nash, karena itu telah
ditetapkan hukumnya, sedang yang kedua tidak mempunyai dasar nash, sehingga
belum ditetapkan hukumnya. Oleh sebab itu ashal disyaratkan berupa peristiwa
atau kejadian yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, sedang fara' berupa
peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat
dijadikan dasarnya. Hal ini berarti bahwa seandainya terjadi qiyas, kemudian
dikemukakan nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya, maka qiyas itu batal
dan hukum fara' itu ditetapkan berdasar nash yang baru ditemukan itu.
b.
Hukum ashal
Ada beberapa syarat yang diperlukan bagi hukum ashal,
yaitu:
1.
Hukum ashal
itu hendaklah hukum syara' yang amali yang telah ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash. Hal ini diperlukan karena yang akan ditetapkan itu adalah
hukum syara', sedang sandaran hukum syara' itu adalah nash. Atas dasar yang
demikian, maka jumhur ulama tidak berpendapat bahwa ijma' tidak boleh menjadi
sandaran qiyas. Mereka menyatakan bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma'
adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan, tidak mempunyai sandaran,
selain dari kesepakatan dari mujtahid. Karena hukum yang ditetapkan secara
ijma' tidak dapat diketahui dengan pasti, sehingga tidak mungkin mengqiyaskan
hukum syara' yang amali kepada hukum yang mujma' 'alaih. Asy-Syaukani
membolehkan ijma' sebagai sandaran qiyas.
2.
'Illat hukum
ashal itu adalah 'illat yang dapat dicapai oleh akal. Jika 'illat hukum ashal
itu tidak dapat dicapai oleh akal, tidaklah mungkin hukum ashal itu digunakan
untuk menetapkan hukum pada peristiwa atau kejadian yang lain (fara') secara
qiyas. Sebagaimana diketahui bahwa syari'at itu ditetapkan untuk kemaslahatan
manusia, serta berdasarkan 'illat-'illat yang ada padanya. Tidak ada hukum yang
ditetapkan tanpa 'illat. Hanya saja ada 'illat yang sukar diketahui bahkan ada
yang sampai tidak diketahui oleh manusia, seperti apa illat shalat Dzuhur
ditetapkan empat raka'at, apa pula 'illat shalat Maghrib ditetapkan tiga
raka'at dan sebagainya tidak ada yang mengetahui 'illatnya dengan pasti.
Disamping itu ada pula ada pula hukum yang 'illatnya dapat diketahui dengan
mudah, seperti kenapa diharamkan meminum khamar, haram mengambil harta orang
lain dan sebagainya. Hukum ashal kedua inilah yang dapat dijadikan sandaran
qiyas.
3.
Hukum ashal
itu tidak merupakan hukum pengecualian atau hukum yang berlaku khusus untuk
satu peristiwa atau kejadian tertentu.
Hukum ashal macam ini ada dua macam, yaitu:
- 'Illat hukum itu hanya ada pada hukum ashal saja, tidak mungkin pada yang lain. Seperti dibolehkannya mengqashar shalat bagi orang musafir. 'IlIat yang masuk akal dalam hal ini ialah untuk menghilangkan kesukaran atau kesulitan (musyaqqat) Tetapi al-Qur'an dan al-Hadits menerangkan bahwa 'illat itu bukan karena adanya safar (perjalanan).
- Dalil (al-Qur'an dan al-Hadits) menunjukkan bahwa hukum ashal itu berlaku khusus tidak berlaku pada kejadian atau peristiwa yang lain. Seperti beristri lebih dari empat hanya dibolehkan bagi Nabi Muhammad SAW saja dan istri beliau itu tidak boleh kawin dengan laki-laki lain walaupun beliau telah meninggal dunia, dan sebagainya.
5.
Macam-macan
qiyas
a.
Qiyas aula (qiyas ini
dinamai juga awlawi, qiyas qhat’i) yaitu suatu qiyas yang ‘ilatnya itulah yang
mewajibkan hukum.atau dengan kata lain sesuatuqiyas hukum yang diberikan kepada
pokok lebih patut diberikan kepada cabang. Contoh qiyas tidak boleh memukul
orang tua, kepada tidak bolenya kita mengucapkan perkataan yang menyakitkan
hatinya, kepada orang tua. Hukum “tidak
boleh” ini lebih patut diberikan kepaada memukul.daripada dihukumkan kepada
mengucapkan perkataan yang menyakitkan hatinya.
b.
Qiyas musawi yaitu suatu
qiyas yang ilatnya mewajibkan hukum. Atau mengqiyaskan sesuatu keapada sesuatu
yang bersamaan kedua-duanya yang patut menerima hukum tersebut. Umpamanya:
menjual harta anak yatim diqiyaskan kepada memakan harta anak yatim.
c.
Qiyas adna atau
qiyas adwan yaitu mengqiyaskan sesuatu yang kurang patut menerima
hukum yang diberikan kepada sesuatuyang memang patut menerima hukum itu. Contoh
mengqiyaskan apel pada gandum dalam hal berlakunya riba fadhal karena keduanya
mengandung ‘ilat yang sama yaitu sama-sama jenis makanan
d.
Qiyas
al-‘aksi, tidak adanya hukum karena tidak adanya ‘ilat atau
menetapkan lawan hukum sesuatu bagi yang sepertinya karena keduanya itu
berlawanan tentang hal ‘ilat.
e.
Qiyas
assabri wa taqsim, qiyas yang ditetapka ‘ilatnya sesudah dilakukan penelitian
dan peninjauan yang lebih dalam.
f.
Qiyas
Dalalah, yaitu qiyas
yang ‘ilatnya tidak disebut tetapi merupakan petunjuk yang menunjukan adanya
‘ilat untuk menetapkan sesuatu hukum dari sesuatu pristiwa.
g.
Qiyas fi
ma’nal ashli, yaitu qiyas yang tidak dijelaskan washaf (sebab
‘ilat) yang mengumpulkan antara pokok dan cabang didalam mengqiyaskan itu
h.
Qiyas
al-ikhalati wal munasabati, yaitu qiyas yang jalan menetapkan ‘ilatyang
dipetik daripadanya (yang dikeluarkan dengan jalan ijtihad), ialah munasabah,
yakni kemaslahatan memelihara maksud (tujuan)
i.
Qiyas ‘ilat,
yaitu membandingkan sesuatu kepada yang lain karena kesamaan
‘ilatantara keduanya membandingkan hukum minuman yang memabukkan kepada khamar.[5]
6.
Cara-cara
mencari ‘ilat
'Illat ialah suatu sifat yang ada pada
ashal yang sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum ashal serta untuk
mengetahui hukum pada fara' yang belum ditetapkan hukumnya, seperti
menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu sifat yang terdapat pada perbuatan
memakan harta anak yatim yang menjadi dasar untuk menetapkan haramnya hukum
menjual harta anak yatim.
1.
Cara
mengetahui ‘ilat
a.
Melalui nash, baik
ayat-ayat alquran maupun sunnah Rasulullah SAW
b.
Cara kedua
untuk mengetahui ‘ilat suatu hukum melalui ijma’. Dengan ijma’ diketahui sifat
tertentu yang terdapat dalam hukum syara’yang menjadi ‘ilat hukum.
c.
Al-ma wa
at-tanbih yaitu penyertaan sifat dengan hukum dan disebutkan dalam lafal
d.
As-sibr
wa-at-taqsim
e.
Munasabah
f.
Mencari
‘ilat melalui tanqih al-manath yaitu upaya seorang mujtahid dalam menentukan
‘ilat dari berbagai sifat yang dijadikan ‘ilat oleh syar’i, dalam berbagai
hukum
g.
Athard yaitu
penyertaan hukum dengan sifat tanpa adanya keserasian antara keduanya
h.
Assyabah
yaitu sifat yang mempunyai kesempurnaan
i.
Dauran
sesuatu keadaan dimana ditemukan hukum apabila bertemu sifat dan tidak terdapat
hukum ketika sifat tidak ditemukan
j.
Algha
al-fariq adalah terdapat titik perbedaan antara sifat dengan hukum, tetapi
titik perbedaan itu dibuang, sehingga yang tinggal hanya persamaanya.[6]
2.
Syarat-syarat
'illat
Ada empat macam syarat-syarat yang
disepakati ulama, yaitu:
- Sifat 'illat itu hendaknya nyata, masih terjangkau boleh akal dan pancaindera. Hal ini diperlukan karena 'illat itulah yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum pada fara'. Seperti sifat menghabiskan harta anak yatim, terjangkau oleh pancaindera dan akal, bahwa 'illat itu ada pada memakan harta anak yatim (ashal) dan terjangkau pula oleh pancaindera dan akal bahwa 'illat itu ada pada menjual harta anak yatim (fara'). Jika sifat 'illat itu samar-samar, kurang jelas dan masih ragu-ragu, tentulah tidak dapat digunakan untuk menetapkan ada dan tidaknya hukum pada ashal.
- Sifat 'illat itu hendaklah pasti, tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan bahwa 'illat itu ada pada fara', karena asas qiyas itu adalah adanya persamaan illat antara ashal dan fara'. Seperti pembunuhan sengaja dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya hakekatnya adalah pasti, karena itu dapat dijadikan dasar qiyas atas peristiwa pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja oleh penerima wasiat terhadap orang yang telah memberi wasiat kepadanya.
- Sifatitu merupakan hal yang sesuai. dengan kemungkinan hikmah hukum, dengan arti bahwa keras dugaan bahwa 'illat itu sesuai dengan hikmah hukumnya. Seperti memabukkan adalah hal yang sesuai dengan hukum haram minum khamar, karena dalam hukum itu terkandung suatu hikmah hukum, yaitu memelihara akal dengan menghindarkan diri dari mabuk. Pembunuhan dengan sengaja adalah sesuai dengan keharusan adanya qishash, karena dalam qishash itu terkandung suatu hikmah hukum yaitu untuk memelihara kehidupan manusia.
- 'Illat itu tidak hanya terdapat pada ashal saja, tetapi haruslah berupa sifat yang dapat pula diterapkan pada masalah-masalah lain selain dari ashal itu. Seperti hukum-hukum yang khusus berlaku bagi Nabi Muhammad SAW tidak dijadikan dasar qiyas. Misalnya mengawini wanita lebih dari empat orang, berupa ketentuan khusus berlaku bagi beliau, tidak berlaku bagi orang lain. Larangan isteri-isteri Rasulullah saw kawin dengan laki-Iaki lain setelah beliau meninggal dunia, sedang wanita-wanita lain dibolehkan.
- ‘ilat itu mengandung motivasi hukum, bukan sekadar tanda-tandaatau indikasi hukum. Maksudnya fungsi ‘ilat adalah bagian dari ntujuan disyaratkan hukum yaitu: untuk kemaslahatan umat manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar