MASLAHAH
MURSALAH SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM
Disusun oleh: Zainal Masri
Disusun oleh: Zainal Masri
1. Defenisi Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah secara istilah terdiri
dari dua kata yaitu maslaha dan mursalah. Kata maslahah menurut bahasa artinya
“manfaat” dan kata mursalah berarti “lepas”. Seperti dikemukakan Abdul wahab
kallaf berarti sesuatu yang dianggap maslahat namun tidak ada ketegasan hukum
untuk merealisasikannya dan tidak ada pula dalil tertentu baik yang mendukung
maupun yang menolaknya.[1]
Maslahah mursalah (kesejahteraan umum)
yakni yang dimutlakkan (maslahah yang bersifat umum), menurut istilah ulama
ushul yaitu maslahah dimana syar’i tidak mensyariatkan hukum untuk mewujudkan
maslahah itu, juga tidak terdapat dalil yang menunjukan atas pengakuannya atau
pembatalannya.
Contohnya: maslahah yang karena maslahah
itu, sahabat mensyariatkan pengadaan penjara, atau mencetak mata uang atau
menetapkan (hak milik) tanah pertanian sebagai hasil kemenangan warga sahabat
itu sendiri dan ditentukan pajak pengasilannya, atau maslahah-maslahah lain
yang harus dituntut oleh keadaan-keadaan darurat, kebutuhan atau karena
kebaikan, dan belum di syariatkan hukumnya, juga tidak terdapat saksi syara’
yang mengakuinya atau membatalkannya.[2]
2. Dasar Hukum Maslahah Mursalah
Ada
bebrapa dasar hukum atau dalil mengenai diberlakukannya teori Maslahah Mursalah
diantaranya adalah :
a) Al Quran.
Di antara ayat-ayat yang dijadikan dasar berlakunya
maslahah mursalah adalah firman Allah SWT.
Dan tiadalah kami mengutus kamu,
melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (Q.S. Al Anbiya : 107)
Hai manusia, sesungguhnya telah
datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit
yang berada dalam dada dan petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. ( Q.S. Yunus : 57).
b) Hadits.
Hadits yang dikemukakan sebagai landasan syar’i atas
kehujahan maslahah mursalah adalah sabda Nabi saw.
Tidak boleh
berbuat madhorot dan pula saling memadhorotkan.
(H.R.
lbnu Majah dan Daruquthni dan lainnya. Hadits ini berkualitas hasan)
c) Perbuatan
Para Sahabat dan Ulama Salaf
Dalam
memberikan contoh maslahah mursalah di muka telah dijelaskan, bahwa para
sahabat seperti Abu Bakar As Shidik, Umar bin Khathab dan para imam madzhab
telah mensyariatkan aneka ragam hukum berdasarkan prinsip maslahah. Disamping
dasar-dasar tersebut di atas, kehujahan maslahah musrsalah juga didukung
dalil-dalil aqliyah (alasan rasional) sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Wahab
Kholaf dalam kitabnya Ilmu Ushulil Fiqh bahwa kemaslahatan manusia itu
selalu aktual yang tidak ada habisnya, karenanya, kalau tidak ada syariah hukum
yang berdasarkan maslahat manusia berkenaan dangan maslahah baru yang terus
berkembang dan pembentukan hukum hanya berdasarkan prinsip maslahah yang
mendapat pengakuan syar saja, maka pembentukan hukum akan berhenti dan kemaslahatan
yang dibutuhkan manusia di setiap masa dan tempat akan terabaikan.[3]
Para ulama yang menjadikan mursalah
sebagai salah satu dalil syara, menyatakan bahwa dalil hukum. Maslahah mursalah
ialah :
a.
Persoalan
yang dihadapi manusia selalu bertumbuh dan berkembang demikian pula kepentingan
dan keperluan hidupnya.
b.
Sebenarnya
para sahabat, para tabi’in, tabi’t tabi’iin dan para ulama yang datang
sesudahnya telah melaksanakannya, sehingga mereka dapat segera menetapkan hukun
sesuai dengan kemashlahatan kaum muslimin pada masa itu.
3.
Macam-macam
Maslahah Mursalah
Ulama ushul membagi maslahah kepada
tiga bagian yaitu :
1)
Maslahah
Dharuriyah adalah perkara-perkara yang menjadi tempat tegaknya kehidupan
manusia, yang bila di tinggalkan, maka rusaklah kehidupan, merajalelalah
kerusakan, timbulah fitnah dan kehancuran yang hebat. Perkara-perkara ini dapat
dikembalikan kepada lima perkara,yaitu agama,jiwa, akal, keturunan dan harta.
2)
Maslahah
Hajjiyah
أَمَّا
اْلمَصْلَحَةُ اْلحَاجِيَّةِ فَهِيَ عِبَارَةُ عَنِ اْلأَعْمَالِ
وَالتَّصَرُّفَاتِ التِّيْ لاَ تَتَوَقَفُ عَلَيْهَا تِلْكَ اْلأُصُوْلِ
الخَمْسَةِ بَلْ تَتَحَقَّقُ
بِدُوْنِهَا
وَلَكِنْ صِيَانَةِ مَعَ الضَيِّقِ وَاْلحَرَجِ
“Maslahah
Hajjiyah ialah, semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan
dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh
masyarakat tetapi juga terwujud, tetapi dapat menghindarkan kesulitan dan
menghilangkan kesempitan”.
3)
Maslahah
Tahsiniyah
أَمَّا اْلمَصَالِحُ التَّحْسِيْنِيَّةُ فَهِيَ
عِبَارَةِ عَنْ اْلأُمْوْرِ التِيْ تَفْتَضِيْهَا المُرُوْءَةِ وَمَكَارِمِ
اْلأَخْلاَقِ وَمَحَاسِنِ اْلعَادَاتِ
“ Maslahah Tahsiniyah ialah mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak”.
“ Maslahah Tahsiniyah ialah mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak”.
4. Kedudukan atau Kehujjahan Maslahah
Mursalah
Para ulama ushul fiqih sepakat
bahwa maslahah mursalah tidak sah menjadi landasan hukumdalam bidang ibadah
karena bidang ibadah harus diamalkan sebagaimana adanya yang diwariskan oleh
rasulullah SAW, dan oleh karena itu
bidang ibadah tidak berkembang.[4]
Dalam kehujjahan maslahah mursalah, terdapat
perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul di antaranya :
a. Maslahah
mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalil menurut ulam-ulama syafi`iyyah, ulama
hanafiyyah, dan sebagian ulama malikiyah seperti ibnu Hajib dan ahli zahir
b. Maslahah
mursalah dapat menjadi hujjah/dalil menurut sebagian ulama imam maliki dan
sebagian ulam syafi`i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan oleh ulama-ulama ushul. Jumhur Hanafiyyah dan syafi`iyyah
mensyaratkan tentang maslah ini, hendaknya dimasukkan dibawah qiyas, yaitu bila
terdapat hukum ashl yang dapat diqiyaskan kepadanya dan juga terdapat illat
mudhabit (tepat), sehiggga dalam hubungan hukumitu terdpat tempat untuk merealisir
kemaslahatan. Berdasarkan pemahaman ini, mereka berpegang pada kemaslahatan
yang dibenarkan syara`, tetapi mereka lebih leluasa dalam menganggap maslahah
yang dibenarkan syara` ini, karena luasnya pengetahuan mereka dalam soal
pengakuan Syari` (Allah) terhadap illat sebagai tempat bergantungnya hukum,
yang merealisir kemaslahatan. Hal ini hampir tidak ada maslahah mursalah yang
tidak memiliki dalil yang mengakui kebenarannya
c. Imam
Al-Qarafi berkata tentang maslahah mursalah `` Sesungguhnya berhujjah dengan
maslahah mursalah dilakukan oleh semua mazhab, karena mereka membedakn antara
satu dengan yang lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan
hukum yang mengikat. Diantara
ulama yang paling banyak melakuakn atau menggunakan maslahah mursalah ialah
Imam Malik dengan alasan; Allah mengutus utusan-utusannya untuk membimbing
umatnya kepada kemaslahahan. Kalau memang mereka diutus demi membawa
kemaslahahn manusia maka jelaslah bagi kita bahwa maslahah itu satu hal yang
dikehendaki oleh syara`/agama mengingat hukum Allah diadakan untuk kepentingan
umat manusia baik dunia maupun akhirat.
5. Syarat-syarat Maslahah Mursalah
Abdul
wahab kallaf menjelaskan beberapa persyaratan dalam memfungsikan maslahah
mursalah yaitu:
1. Sesuatu yang dianggap maslahat itu
haruslah berupa maslahat hakiki, yaitu yang benar-benar akan mendatangkan
kemanfaatan atau menolak kemudaratan, bukan berupa dugaan belaka dengan hanya
mempertimbangkan adanya kemamfaatan tanpa melihat kepada akibat negatif yang
ditimbulkannya. Minsalnya yang disebut terahir ini adalah anggapan bahwa hak
untuk menjatuhkan talak itu berada di tangan wanita bukan lagi ditangan pria
adalah maslahat yang palsu, karena bertentangan dengan ketentuan syariat yang
menegaskan bahwa hak untuk menjatuhkan
talak berada di tangan suami sebagaimana yang disebutkan dalam hadis:
“dari ibnu umar
sesungguhnya dia pernah menalak istrinya padahal dia sedang dalam keadaan haid
hal ini diceritakan kepada nabi SAW, maka beliau bersabda: suruh ibnu umar
untuk merujuknya lagi, kemudian menalaknya dalam kondisi suci atau hamil” (HR.
Ibnu majah)
2. Sesuatu yang dianggap maslahat itu
hendaklah berupa kepentingan umum bukan kepentingan pribadi
3. Sesuatu yang dianggap maslahat itu tidak
bertentangan dengan ketentuan yang ditegaskan dalam Alquran atau sunnah Rasulullah atau
bertentangan dengan ijma’.[5]
6. Maslahah Mursalah di Zaman Kontenporer
Didalam
penerapan realita penulis akan mengambil sebuah contoh mengenai P.2. (2) UU No.
1/ 1974. Jpo. P.2 PP. No. 9/1975 bahwa demi terjaminnya ketertiban tiap-tiap perkawinan
harus dicatat. Pencatatan perkawinan meskipun secara harfiyah tidak diatur
dalam nash syari dan tidak pula dijumpai nash yang melarangnya, tetapi
ketentuan itu memberikan dampak yang positif bagi umat manusia. Ini jelas,
keharusan mencatatkan nikah itu tidak bertentangan dengan tujuan umum
pembentukan hukum, yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Oleh karena
ketentuan dalam pasal-pasal tersebut tidak didasarkan pada nash-nash tertentu,
maka dasarnya adalah maslahah mursalah.
Demikian juga Pasal 7 (1) UUP No. 1/1974 jo.
Pasa1.15 (1) kompilasi hukum Islam tentang batasan umur kawin. Seperti halnya
pencatatan nikah, Islam juga tidak mengatur secara harfiyah batasan umur untuk
boleh melakukan pernikahan, namun demi kemaslahatan keluarga dan rumah tangga
yang bahagia, perkawinan boleh dilakukan oleh orang-orang yang sudah mencapai
umur dewasa yaitu 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita yang secara
lahiriyah mereka itu sudah matang jiwa dan raganya. Ketentuan ini jelas
kemaslahatan yang besar bagi umat manusia.
Kemudian dapat penulis inventarisasikan ketentuan-ketentuan lain dan perundangundangan dan peraturan lain yang didasarkan atas prinsip maslahah mursalah, antara lain Pasal 2 (2), Pasal 5 (1) UU. No. I/1974 jo Pasal 56-58 Kompilasi Hukum Islam. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang poligami dan yang berkaitan dengan itu yang secara keseluruhan merupakan azas mempersulit poligami demi kamaslahatan keluarga agar tidak begitu raja para suami menterlantarkan para isteri dan anak-anak mereka.
Kemudian dapat penulis inventarisasikan ketentuan-ketentuan lain dan perundangundangan dan peraturan lain yang didasarkan atas prinsip maslahah mursalah, antara lain Pasal 2 (2), Pasal 5 (1) UU. No. I/1974 jo Pasal 56-58 Kompilasi Hukum Islam. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang poligami dan yang berkaitan dengan itu yang secara keseluruhan merupakan azas mempersulit poligami demi kamaslahatan keluarga agar tidak begitu raja para suami menterlantarkan para isteri dan anak-anak mereka.
Selain
ketentuan-ketentuan hukum produk pemerintah, perlu dikemukakan
keputusan-keputusan hukum oleh organisasi-organisasi keagamaan seperti NU,
Muhammadiyah dan MUI, sehingga akan memberikan gambaran yang lebih lengkap
tentang pembinaan hukum di Indonesia. Namun di sini penulis hanya akan
mengemukakan secara global saja tentang kasus-kasus tertentu yang keputusannya
didasarkan atas pertimbangan maslahah.
Sebagai
akibat modernisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, banyak
kasusu-kasus yang timbul yang tenth memerlukan status hukum, contoh seperti
program KB, bayi tabung, iminasi buatan pada hewan, pencangkokan organ tubuh,
donor darah, operasi plastik dan lain-lain. Kasus-kasus tersebut merupakan
masalah ijtihadiyah karena tidak terdapat nash hukumnya dalam Al Quran dan As
Sunah. Dalam menghadapi kasus-kasus seperti ini, pada umumnya dalam memberikan
status hukum pars Ulama tidak meninggalkan prinsip maslahah, oleh Karena dasar
maslahahlah yang paling tepat dan efektif sebagai salah satu alternatif
pemecahannya. Para Ulama yang tergabung dalam tiga organisasi keagamaan
tersebut, pada dasarnya boleh dikatakan sepakat memper-bolehkan masalah-masalah
tersebut dengan berbagai pariasi keputusan dan syarat-syarat tertentu yang
sedikit ada perbedaan yang terkadang menunjukkan spesifikasi masing-masing. Hal
ini dimungkinkan terjadi mengingat antara tiga organisasi tersebut ada sedikit
perbedaan dalam cara beristimbat, seperti NU misalnya, dalam menetapkan hukum
biasanya hanya didasarkan pada kitab kuning dengan cara memperluas
pengertiannya di samping selalu terikat oleh madzhab-madzhab fiqh tertentu yang
dalam hal ini madzhab Syafi’i . meskipun keputusan NU itu dasarnya adalah kitab
kuning, tapi kalau dikaji secara metodologis, jelas banyak sekali keputusan-keputusan
hukum yang sebenarnya didasarkan atas pertimbangan maslahah atau maslahah
mursalah.[6]
[1] Satria Efendi,Ushul
Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 148-149
[2] Abdul Wahab Khalaf, Kaedah-Kaedah
Hukum Islam, (kairo: 1942) hal. 126
[3] Abdul Wahab Khallaf,
Kaedah-Kaedah Hukum Islam, hal. 85
[4] Satria Efendi, Op.Cit .h.150
[5] Satria Efendi,Ushul
Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 152-153
[6] Muhammad Akbar Amnur bin Amir bin Sahibe Ahmad, 4 Juni 2012, Diakses dari:
www. Docstoc. Com., istihsan_istishab_
maslahah mursalah
afwan sebelumnya tulisannya ngga nampak
BalasHapusadanya petir2 seperti itu justru membuat pembaca jadi pusing dan malas untuk melanjutkan membaca,,, hilangkan saja petir2nya itu,,, lebih baik memperindah tulisan daripada membuat yang neko2 dengan tampilan,,,, yang jelas tampilan itu simple, bagus, menarik, bukan NORAK,,,
BalasHapusTrimakasih bagus sekali
BalasHapusuntuk blog pendidikan ii sangat lebay karna menyusahkan para pembaca blok ini
BalasHapus