ISTISHAB SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM
Disusun oleh : Zainal Masri_ STAIN BATUSANGKAR
A. Defenisi Istishab
Istishab (الِإسْتِصْحَابُ) menurut etimologi berasal dari kata istishaba dalam sighat istif’al (اِسْتِفْعَالِ) yang bermakna: اِسْتِمْرَارُ الصَّحَبَهْ. Kalau kata الصَّحَبَهْ diartikan dengan sahabat atau teman dan اِسْتِمْرَارُ diartikan selalu atau terus menerus, maka istishab secara Lughawi artinya selalu menemani atau selalu menyertai. Atau diartikan dengan minta bersahabat, atau membandingkan sesuatu dan mendekatkannya, atau pengakuan adanya perhubungan atau mencari sesuatu yang ada hubungannya.
Istishhab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu. Jika seseorang mengatakan:
استصحبت الكتاب في سفري
Maka itu artinya: aku membuat buku itu ikut serta bersamaku dalam perjalananku.
Adapun secara terminologi Ushul Fiqih, -sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu ini- ada beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya adalah:
1. Al-Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut).”
2. Al-Qarafy (w. 486H) seorang ulama Malikiyah- mendefinisikan istishhab sebagai “keyakinan bahwa keberadaan sesuatu di masa lalu dan sekarang itu berkonsekwensi bahwa ia tetap ada (eksis) sekarang atau di masa datang.”
Definisi ini menunjukkan bahwa istishhab sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu perkara –baik itu berupa hukum ataupun benda- di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya. Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah atau mobil ini –entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan-, maka selama kita tidak menemukan ada dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang atau nanti. Dengan kata lain, istishhab adalah melanjutkan pemberlakuan hukum di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti.
Menurut Ibnu Qayyim, istishab ialah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan hukumnya. Sedangkan menurut Asy Syatibi, istishab ialah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.
Dari pengertian istishab di atas, dapat dipahami bahwa istishab itu ialah:
1. Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.
2. Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa yang lalu.
Contoh Istishab:
Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang ada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishab.
B. Dasar Hukum
1. Dalil dari al-Qur’an
ö@è% ô`tB tP§ym spoYƒÎ— «!$# ûÓÉL©9$# ylt÷zr& ¾ÍnÏŠ$t7ÏèÏ9 ÏM»t6Íh‹©Ü9$#ur z`ÏB É-ø—Ìh9$# 4 ö@è% }‘Ïd tûïÏ%©#Ï9 (#qãZtB#uä ’Îû Ío4quŠysø9$# $u‹÷R‘‰9$# Zp|ÁÏ9%s{ tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# 3 y7Ï9ºx‹x. ã@Å_ÁxÿçR ÏM»tƒFy$# 5Qöqs)Ï9 tbqçHs>ôètƒ ÇÌËÈ
32. Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat[536]." Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.
[536] Maksudnya: perhiasan-perhiasan dari Allah dan makanan yang baik itu dapat dinikmati di dunia ini oleh orang-orang yang beriman dan orang-orang yang tidak beriman, sedang di akhirat nanti adalah semata-mata untuk orang-orang yang beriman saja.
2. Dalil dari al-Hadits
“إِذَا وَجَـدَ أَحَدُكُمْ فِي بَـطْبه شيئاً فَأَشْكَلَ عَلَـيْهِ أَخْرَجَ شَيْءٌ مِنْهُ أَمْ لاَ فَلاَ يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتاً أَوْ يَجِدَ رِيْـحاً.”
“Jika seseorang merasakan sakit perutnya lalu ragu apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak, maka jangan sekali-kali keluar dari masjid (membatalkan shalat) sampai kamu mendengar suara atau mencium baunya.”
C. Kedudukan / Kehujjahan
Para ulama telah berbeda pendapat dalam menyatakan kedudukan istishab sebagai dalil syara. Kalangan ulama dan mazhab maliki, Hambali dan Syafi’I menjadikan Istishab sebagai dalil yang menetapkan hukum yang telah ada selama tidak ada dalil dalam menetapkan hukum yang mengubahnya. Baik secara qath’I atau zanni maka hukum itu tetap berlaku karena diandaikan belum ada perubahan terhadapnya.
Manakala ada kalangan ulama mutakallimin menyatakan bahwa istishab tidak boleh dijadikan sebagai dalil mereka menyatakan hukum telah ditetapkan pada masa lalu mestilah bersandar kepada dalil, begitu juga menetapkan perkara sekarang dan masa yang akan datang.
Pendapat ulama mutaakhirin menyatakan boleh menerima Istishab sebagai hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa akan datang sehingga ada dalil mengubahnya. Namun istishab tidak boleh digunakan menetapkan hukum yang aka nada (baru).
Jadi berdasarkan pendapat ini sesuatu hukum yang telah berlaku dan tidak ada dalil yang membatalkannya maka hukum tersebut terus berjalan, namun dalam lainnya tidak dipakai dalam menetapkan hukum yang baru.
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil atau pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang ulama yang mengatakan:
“Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku...”
D. Bentuk-Bentuk istishab
1. Istishab al-baraah al-Ashliyyah
Yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya manusia bebas dari taklif (beban), sampai adanya dalil yang merubah status tersebut. Atas dasar inilah maka manusia bebas dari kesalahan sampai ada bukti bahwa ia telah berbuat salah. Oleh karena itu, seseeorang yang menuduh orang lain telah berbuat salah maka tuduhan itu tidak bisa dibenarkan secara hukum tanpa adanya bukti yang jelas.
2. Istishab al-ibahah al-ashliyah
Yaitu istishab yang didasarkan atas hukum asal, yaitu mubah (boleh). Penerapan kaidah ini banyak terkait dengan masalah-masalah muamalah. Misalnya mengenai makanan dan minuman, selama tidak ada dalil yang melarangnya maka hal tersebut diperbolehkan. Sebab pada prinsipnya, segala sesuatu yang ada di bumi ini diperuntukan oleh Allah bagi kehidupan manusia.
3. Istishab Ma Dalla al-Syar’u ‘ala Tsubut
Yaitu istishab yang didasarkan atas tetapnya hukum yang sudah ada sampai ada dalil yng mencabutnya. Misalnya, seseorang yang sudah jelas melaksanakan akad pernikahan, maka status pernikahan itu tetap berlaku sampai terbukti adanya perceraian.
4. Istishab al-Washfi
Yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan tetapnya sifat yang ada dan diketahui sebelumnya, sampai ada bukti yang merubahnya. Misalnya, sifat air yang diketahui suci sebelumnya, maka air tersebut tetap suci sampai ada bukti yang menunjukan air tersebut menjadi najis. Demikian pula adanya sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang, maka ia tetap dianggap masih hidup sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa ia sudah meninggal.
E. Implikasi dan Kaedah-Kaedahnya
Kaidah-kaidah istishab antara lain:
· الاصل بقاء ماكان على ماكان حتى يثبت ما يفيره
”pada asalnya segala sesuatu itu tetap (hukumnya) berdasarkan ketentuan yang telah ada sehingga ada dalil yang merubahnya.”
· الاصل في الاشياء الا باحة
“pada asalnya hukum segala sesuatu itu boleh.”
· الاصل في الانسان البراءة
“manusia pada asalnya adalah bebas dari beban.”
· بالشك ولايزول الابيقين مثله ما ثبت باليقين لايزول
“apa yang telah ditetapkan dengan yakin, maka ia tidak bisa gugur karena keragu-raguan. Ia tidak bisa gugur kecuali dengan yakin juga.”
Maka orang yang yakin bahwa ia masih mempunyai wudhu’ dan ragu-ragu jika dirinya telah batal, maka ia dihukum masih mempunyai wudhu’, dan shalatnya sah. Hal demikian berbeda dengan pendapat ulama dari golongan Malikiyah yang berpedapat wajib berwudhu’ lagi. Sebab, menurut mereka tanggung jawab (beban)nya adalah menjalankan shalat dengan penuh keyakinan. Karena tanggung jawab tersebut tidak lepas kecuali dengan mengerjakan shalat dengan benar dan penuh keyakinan. Dan hal itu harus dilakukan dengan wudhu’ agar tidak diragukan kebatalannya.
infonya bagus, tapi tolong baegroundnya ganti, bikin pusing orang yang baca..
BalasHapusterima kasih atas ilmunya, sarannya baground di ganti yaaa,
BalasHapusilmunya cukup membantu,thanks ya tpi saran bagroundnya diganti
BalasHapusJackpotCity Casino NJ » Up to $500 Free + $1000 Bonus
BalasHapusJackpotCity Casino is the 세종특별자치 출장안마 online 진주 출장안마 casino of choice for New Jersey players 하남 출장마사지 who want 의왕 출장안마 something in NJ that 영주 출장안마 is a safe and secure casino.
joya shoes 241y0pfxli061 afslappet,STØVLER,STÖVLAR,csizma,botas,gewoontjes,camminando,mode baskets,gehen,stiefel joya shoes 248p1jmgwf504
BalasHapus