MAKALAH USHUL FIQIH TENTANG
IJMA'
SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM
Disusun Oleh: Zainal Masri
STAIN Batusangkar
1.
Pengertian
ijma’
Ijma’ secara bahasa berarti kebulatan tekad terhadap suatu persoalan. Atau kesepakatan
tentang sesuatu masalah.[1]
Ijma' secara
bahasa juga bisa diartikan ( العزم والاتفاق ) Niat yang kuat dan Kesepakatan. Dan
secara istilah berarti
اتفاق مجتهدي
هذه الأمة بعد النبي صلّى الله عليه وسلّم على حكم شرعي
"Kesepakatan para mujtahid
ummat ini setelah wafatnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap suatu
hukum syar'."
Penjelasan :
1.
( اتفاق ) "kesepakatan" yaitu
adanya khilaf walaupun dari satu orang, maka tidak bisa disimpulkan sebagai
ijma'.
2.
( مجتهدي ) "Para mujtahid" berarti orang
awam dan orang yang bertaqlid, maka kesepakatan dan khilaf mereka tidak
dianggap sebagai ijma'.
3.
( هذه
الأمة ) "Ummat
ini" adalah Ijma' selain mereka (ummat Islam), maka ijma' selain
mereka tidak dianggap.
4.
( بعد
النبي صلّى الله عليه وسلّم
) "Setelah wafatnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah kesepakatan
mereka pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tidak dianggap
sebagai ijma' dari segi keberadaannya sebagai dalil, karena dalil dihasilkan
dari sunnah nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam baik dari perkataan atau
perbuatan atau taqrir (persetujuan), oleh karena itu jika seorang shahabat
berkata : "Dahulu kami melakukan", atau "Dahulu mereka melakukan
seperti ini pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ", maka hal itu
marfu' secara hukum, tidak dinukil sebagai ijma'.
5.
( على
حكم شرعي ) "terhadap
hukum syar'i" yaitu kesepakatan mereka dalam hukum akal atau hukum
kebiasaan, maka hal itu tidak termasuk disini, karena pembahasan dalam masalah
ijma' adalah seperti dalil dari dalil-dalil syar'i.
2.
Dasar Hukum
ijma’
Para ulama
ushul fiqih mendasarkan kesimpulan mereka bahwa ijma’ adalah sah dijadikan
sebagai landasan hukum kepada berbagai argumentasi antara lain:
1.
Qs.annisa: 115
115. Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah
jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya
itu[348] dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali.
[348] Allah
biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan.
Ayat tersebut mengancam golongan
yang menentang Rasulullah dan mengikuti jalan orang-orang yang bukan mukmin.
Dari ayat tersebut dipahami, kata muhammad abu zahrah, bahwa wajib hukumnya
mengikuti jalan orang-orang yang mukmin yaitu mengikuti kesepakatan mereka.
2. Qs. Albaqarah; 143
7Ï9ºxx.ur öNä3»oYù=yèy_ Zp¨Bé& $VÜyur (#qçRqà6tGÏj9 uä!#ypkà n?tã Ĩ$¨Y9$#
"Dan
demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia." (QS.
Al-Baqoroh : 143)
Maka firmanNya : "Saksi atas manusia", mencakup persaksian
terhadap perbuatan-perbuatan mereka dan hukum-hukum dari perbuatan mereka, dan
seorang saksi perkataannya diterima.
3.
Qs. Annisa:59
( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur
. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),
Ini Menunjukkan bahwasanya apa-apa yang telah mereka sepakati adalah benar.
4.
Hadits
Bila para mujtahid telah melakukan ijma' tentang
hukum syara' dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma' itu hendaklah
diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan
kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Artinya:
"umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan." (HR.
Abu Daud dan Tirmidzi)
5. Akal
pikiran
Setiap ijma' yang dilakukan atas hukum syara', hendaklah dilakukan dan
dibina atas asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam
berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas
yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan.
Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka
ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari
nash itu.
Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang
dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh
melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan
dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan sebagainya. Jika semua
mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang
telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur'an dan
al-Hadits, karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika
seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian
pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang
sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan.
3. Objek ijma’
Obyek
ijma' ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalarn
al-Qur'an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat
ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang
mu'amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan
urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Qur'an dan al-Hadits
4.
Kehujjahan ijma’
Jumhur ulama berpendapat bahwa apabila rukun-rukun ijma’ telah
terpenuhi maka ijma’ disebut menjadi hujjah qhat,i wajib diamalkan dan tidak
boleh mengingkarinya bahkan orang yang mengingkarinya dianggap kafir
Alasan jumhur ulama ushul fiqih yang menyatakan bahwa
ijma’merupakan hujjah yang qhat,idan menempati urutan ke tiga sebagai hukum
syara’ adalah:
1. Qs. Annisa: 59
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB
Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu (Qs.
Annisa: 59)
Lafaz amr
disini artinya urusan. Bebrbentuk umum. Meliputi urusan agama dan urusan
duniawi. Uli ambri duniawi yaitu raja, pemerintah dan para wali. Uli ambri
agama yaitu para mujtahid dan mufti. Sebagian ahli tafsir menafsirkan yang
dimaksud dengan ulil ambri dalam ayat ini adalah ulama.dan sebagian lagi
menafsirkan yaitu pemerintah dan para wali. Ulil ambri itu berkumpul dan
memecahkan masalah tasyri’ para mujtahid itu harus diikuti dan hukum itu harus
dilaksanakan. Allah berfirman:
( öqs9ur çnru n<Î) ÉAqߧ9$# #n<Î)ur Í<'ré& ÌøBF{$# öNåk÷]ÏB çmyJÎ=yès9 tûïÏ%©!$# ¼çmtRqäÜÎ7/ZoKó¡o öNåk÷]ÏB 3
Dan kalau mereka menyerahkannya
kepada Rasul dan ulil Amri[322] di antara mereka, tentulah orang-orang yang
ingin mengetahui kebenarannya
[322] ialah: tokoh-tokoh sahabat dan para
cendekiawan di antara mereka.
Allah mengancam
orang yang mempersempit langkah rasul dan dan pengikut selain dari jalan allah:
seperti firmanya:
`tBur È,Ï%$t±ç tAqߧ9$# .`ÏB Ï÷èt/ $tB tû¨üt6s? ã&s! 3yßgø9$# ôìÎ6Ftur uöxî È@Î6y tûüÏZÏB÷sßJø9$# ¾Ï&Îk!uqçR $tB 4¯<uqs? ¾Ï&Î#óÁçRur zN¨Yygy_ ( ôNuä!$yur #·ÅÁtB ÇÊÊÎÈ
Dan barangsiapa yang menentang
Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah
dikuasainya itu[348] dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.(qs.annisa: 115)
2.
Alasan jumhur ulama dari hadis
adalah sabda rasulullah saw:
Artinya:
"umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan." (HR.
Abu Daud dan Tirmidzi)
Dalam hadis
lain rasulullah saw bersabda: “saya mohon pada allah agar ummatku tidak
sepakat melakukan kesesatan lalu allah mengabulkannya. (HR. Ahmad ibn hanbal
dan Tabrani)
Lebih lajut
rasulullah SAW bersabda: “ golongan umatku senantiasa berada dalam kebenaran
yang nyata dan mereka tidak akan mendapat mudarat dari orang-orang yang berbeda
pendapat dengan mereka (HR. Bukhari dan muslim)
Seluruh hadits
itu menurut abdul wahab khallaf menunjukan bahwa suatu hukum yang disepakati
oleh seluruh mujtahid sebenarnya merupakan hukum umat islam selurunya yang
diperankan oleh para mujtahid mereka. Oleh sebab itu sesuai dengan kandungan
hadits-hadits diatas tidak mungkin para mujtahid tersebut melakukan kesalahan
dalam menetapkan hukum. Apabila seluruh umat telah sepakat melalui para
mujtahid merekamaka tidak ada alasan untuk menolaknya.
5.
Pembagian ijma’.
Menurut Abdul Karim Zaidan, ijma’ terbagi menjadi dua yaitu ijma’
sharih (jelas) dan ijma’ sukuti (diam/persetujuan yang diketahui lewat diamnya
sebagian ulama’).
a. Ijma’ sharih (jelas), yaitu kesepakatan
seluruh para mujtahid baik dengan perkataan atau perbuatan terhadap suata
masalah tertentu, setiap para mujtahid menyampaikan pendapatnya dengan jelas.
Ijma’ seperti ini langka terjadi, apalagi dalam suatu majlis yang dihadiri oleh
semua mujtahid pada suatu masa tertentu, sebagaimana pendapat al-Nazzam bahwa
ijma’ seperti ini tidak mungkin terjadi. Tetapi jumhur ulama’ ushul berpendapat
apabila hal ini terjadi dan menghasilkan suatu kesepakatan maka bisa dijadikan
sebagai hujjah syar’iyah dengan tanpa
khilaf dan kekuatan hukumnya bersifat qath’i.
b. Ijma’ sukuti (diam), yaitu kesepakatan
sebagian mujtahid dalam suatu permasalahan dan sebagian mujtahid yang lain
tidak berpendapat (diam) dan tidak mengingkarinya. Ijma’
yang kedua ini, para ulama’ masih berselisih pendapat apakah termasuk hujjah
syar’iyah atau tidak:
Menurut Al-Malikiyah dan
Al-Syafi’iyah bukan ijma’ dan bukan hujjah syar’iyah karena diamnya sebagian mujtahid
belum tentu menunjukkan kesepakatan.
Menurut Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah
dianggap ijma’ dan hujjah qot’iyah karena diamnya sebagian mujtahid
yang lain menunjukkan taslim dan sepakat terhadap permasalahan tersebut. Selain
itu jika dilogikakan, bahwa ijma’ sharih yang harus disepakati oleh semua mujtahid yang hidup
pada masa terjadinya ijma’ dan masing-masing mengemukakan pendapatnya serta
menyetujui hukum yang ditetapkan, maka hal ini tidak mungkin terjadi karena
biasanya ijma’ yang dikemukakan ulama’ berawal dari pendapat pribadi atau
sekelompok mujtahid dan lainnya diam.
Lebih lanjut Abu Zahra menyatakan
alasan yang dikemukakan oleh ulama Hanfiyah dan Hanabilah: Diamnya (sukut) para
ulama tentang suatu hukum hasil ijtihad adalah setelah mempelajari dan
menganalisis hasil ijtihad tersebut, dan mempelajari hasil ijtihad ulama lain
adalah suatu kewajiban bagi para ulama’ dan jika mereka diam saja maka hal
tersebut menunjukkan persetujuannya.
Adalah tidak layak jika ulama atau
ahli fatwa tidak mendengar adanya fatwa lain, dan ulama lain harus
mempelajarinya dan menanggapinya jika ada kesalahan dalam hasil ijtihadnya.
Disamping itu, apabila para ulama’ lain yang tidak mengeluarkan fatwa
menganggap fatwa itu menyimpang dari nash atau metode yang digunakan tidak
sesuai dan mereka diam maka mereka berdosa.
Menurut Al-Karkhiy dari madzhab
hanafiyah dan Al-Amidi dari madzhab syafi’iyah bahwa ijma’ sukuti adalah hujjah dzanniyah.
Lebih lanjut Abu Zahra menyatakan
alasan yang dikemukakan oleh ulama Hanfiyah dan Hanabilah: Diamnya (sukut) para
ulama tentang suatu hukum hasil ijtihad adalah setelah mempelajari dan
menganalisis hasil ijtihad tersebut, dan mempelajari hasil ijtihad ulama lain
adalah suatu kewajiban bagi para ulama’ dan jika mereka diam saja maka hal
tersebut menunjukkan persetujuannya.
Adalah tidak layak jika ulama atau
ahli fatwa tidak mendengar adanya fatwa lain, dan ulama lain harus
mempelajarinya dan menanggapinya jika ada kesalahan dalam hasil ijtihadnya.
Disamping itu, apabila para ulama’ lain yang tidak mengeluarkan fatwa
menganggap fatwa itu menyimpang dari nash atau metode yang digunakan tidak
sesuai dan mereka diam maka mereka berdosa.
Menurut Al-Karkhiy dari madzhab hanafiyah dan Al-Amidi dari
madzhab syafi’iyah bahwa ijma’ sukuti adalah hujjah dzanniyah.[2]
6. Kemungkinan
Terjadi Ijma’
Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan adanya ijma’ dan
kewajiban melaksanakannya. Jumhur berkata, “ijma’ itu bisa terjadi bahkan telah
terlaksana”. Sedangkan pengikut Nizam dan golongan Syi’ah menyatakan, ijma’ itu
tidak mungkin terjadi, dengan mengemukakan beberapa argumen, antara lain:
Pertama, sesungguhnya ijma’ yang dimaksudkan oleh jumhur
tentang diharuskannya adanya kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa
sehingga harus memenuhi dua kriteria:
a. Mengetahui karakter setiap mujtahid yang dikategorikan
mampu untuk mengadakan ijma’.
b. Mengetahui pendapat masing-masing mujtahid tentang
permasalahan tersebut.
Kedua, ijma’ itu harus bersandarkan kepada dalil, baik
yang qath’i ataupun yang dzanni.
Bila berlandaskan pada dalil qath’i maka tidak
diragukan lagi bahwa hal itu tidak membutuhkan ijma’. Sebaliknya bila
didasarkan pada dalil yang dzanni, dapat dipastikan para ulama’ akan berbeda
pendapat karena masing-masing mujtahid akan mengeluarkan pendapatnya dengan
kemampuan berfikir daya nalar mereka, disertai berbagai dalil yagn menguatkan
pendapat mereka
7.
Rukun-rukun ijma'
Jumhur
ulama’ ushul fiqh mengemukakan bahwa rukun ijma’ itu ada lima, yaitu:
a. Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui
ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid. Apabila ada diantara mujtahid yang
tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil maka hukum yang dihasilkan itu tidak
dinamakan ijma’.
b. Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah
seluruh mujtahid pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia.
c. Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid
mengemukakan pendapatnya.
d. Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’ yang
bersifat aktual dan tidak ada hukumnya secara rinci dalam al-Qur’an.
e. Sandaran hukum ijma’ tersebut haruslah al-Qur’an dan
atau hadits Rasulullah.
Disamping kelima rukun di atas, jumhur ulama’ ushul fiqh
mengemukakan syarat ijma’: yang melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang
yang memenuhi persyaratan ijma’, kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang
bersifat adil (berpendirian kuat terhadap agama), dan para mujtahid yang
terlibat adalah orang yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau
perbuatan bid’ah.[3]
Dari definisi dan dasar hukum ijma' di atas, maka ulama ushul fiqh
menetapkan rukun-rukun ijma' sebagai berikut:
- Harus ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya peristiwa dan para mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan (menetapkan hukum peristiwa itu. Seandainya tidak ada beberapa orang mujtahid di waktu terjadinya suatu peristiwa tentulah tidak akan terjadi ijma', karena ijma' itu harus dilakukan oleh beberapa orang.
- Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia Islam. Jika kesepakatan itu hanya dilakukan oleh para mujtahid yang ada pada suatu negara saja, maka kesepakatan yang demikian belum dapat dikatakan suatu ijma'.
- Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syara') dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu. Jangan sekali-kali tersirat dalam kesepakatan itu unsur-unsur paksaan, atau para mujtahid yang diharapkan kepada suatu keadaan, sehingga ia harus menerima suatu keputusan. Kesepakatan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan pernyataan lisan, dengan perbuatan atau dengan suatu sikap yang menyatakan bahwa ia setuju atas suatu keputusan hukum yang telah disetujui oleh para mujtahid yang lain. Tentu saja keputusan yang terbaik ialah keputusan sebagai hasil suatu musyawarah yang dilakukan para mujtahid.
- Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh sebahagian besar mujtahid yang ada, maka keputusan yang demikian belum pasti ke taraf ijma'. Ijma' yang demikian belum dapat dijadikan sebagai hujjah syari'ah.
5.
Mengaplikasikan Ijma’ di
Zaman Kotemporer
Kontektualisasi
Ijma’
1.
Ijma’ Pada Masa
Klasik
Sejarah tasyri’ Islam telah menorehkan tintanya bahwa ijtihad
pernah terjadi di masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar dan tidak seorangpun sahabat
yang menafikan kenyataan itu. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Maimun bin
Mahran bahwa jika khalifah Abu Bakar dan Umar dihadapkan dengan suatu
pertentangan atau masalah, maka akan mencari jawabannya di dalam al-Qur’an atau
sunnah Nabi, dan jika tidak menemukan jawaban maka mereka akan memanggil dan
mengumpulkan para tokoh kaum muslimin pada saat itu dan para ulama’ untuk
diajak musyawarah, berijtihad dan mencari jawaban, dan hal ini juga dikatakan
oleh al-Juwaini. Dan merupakan bukan hal yang meragukan lagi bahwa pada waktu
itu tidak semua para ulama’ yang dikumpulkan, karena para ulama’ tidak dalam
satu tempat tetapi tersebar di berbagai daerah seperti di Makkah, di Syam dan
di Yaman dan jika menunggu keseluruhan para ulama’ terkumpul maka akan membutuhkan
waktu yang lama. [4]
Contoh ijma’ yang dilakukan pada masa sahabat seperti ijma’ yang
dilandaskan pada al-Qur’an adalah kesepakatan para ulama’ tentang keharaman
menikahi nenek dan cucu perempuan berdasarkan QS. An-Nisa’ ayat 23. Para ulama’
sepakat bahwa kata ummahat (para ibu) dalam
ayat tersebut mencakup ibu kandung dan nenek, sedangkan kata banat
(anak-anak wanita) dalam ayat tersebut mencakup anak perempuan
dan cucu perempuan.[5]
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa jika ada masalah yang tidak
ditemukan jawabannya baik dalam al-Qur’an maupun Sunah maka bermusyawarah
dengan para ulama’ untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Seperti khalifah
Umar ketika itu mengumpulkan para sahabat untuk membahas masalah pembagian
penghasilan hasil bumi Irak dan tanah-tanah taklukan lainnya yang merupakan
ghanimah perang. Ternyata mereka sepakat untuk membiarkan tanah itu diolah
penduduk aslinya dan tidak membagikannya kepada para pasukan. Demikianlah yang
mereka lakukan sepanjang masa hayat hingga masa itu berganti dan orang-orang
sepeninggal mereka menjalankan apa yang telah disepakati.[6]
2.
Ijma’ Pada Masa
Modern
Salah satu hikmah yang dilimpahkan oleh Allah adalah bahwa Allah
tidak menjadikan kandungan al-Qur’an berupa materi-materi yudisial yang
terbatas sebagaimna dunia matematika yang tidak memberi kemungkinan
inovasi pemikiran kreatif (ijtihad).
Seiring perputaran yang terus-menerus dan perjalanan yang cepat,
muncullah persoalan-persoalan baru yang belum dikenal oleh ulama terdahulu
bahkan belum tersirat di benak para ulama’ salaf, sehingga hukum dan fatwa yang
ditetapkan oleh ulama’ terdahulu tidak relevan lagi, dan hal inilah yang
memotivasi untuk berijtihad lantaran berubahnya masa, tempat, adat dan kondisi
serta keadaan masyarakat yang selalu berubah dan berkembang.[7]
Para cendekiawan Islam (ulama)
banyak berbeda pendapat dalam menentukan terminologi konsensus (Ijma’).
Perbedaan pendapat mereka, menurut Dr. Umar Sulaiman al-Asyqor, dilandaskan
oleh dua hal: Pertama, Penentuan para personal
yang mempunyai validitas untuk berkonsensus (dianggap konsensusnya). Kedua,
Penentuan corak permasalahan-permasalahan yang dianggap dalam
konsensus.[8]
Terlepas dari perdebatan soal terminologisnya, ia disepakati (al-Muttafaq
Alaih) sebagai sumber hukum ketiga setelah al-Qur’an dan
Hadits.
Dari posisinya yang ketiga tersebut, konsensus memiliki peran
signifikan & kuat dalam pengambilan hukum-hukum Islam. Apalagi ia diakui
terbebas dari kekeliruan (Ma’shumun An il-Khothoi)
dan kesesatan, berlandaskan pada sabda Rasulullah SAW: “Umatku tidak
berkonsensus dalam kesesatan” (HR. Ahmad & at-Thabarani).
Konsepsi konsensus dimulai sejak era sahabat (ash-Shahabah)
setelah wafatnya Rasulullah saw. Hal itu terjadi dengan sistem syura
ketika terdapat permasalahan yang tidak ditemukan jawabannya
dalam al-Qur’an dan Hadits. Sistem syura tersebut
tak lain adalah mirip dengan sistem ijtihad kolektif yang diterapkan oleh
forum-forum ijtihad kolektif kontemporer. Karena menurut Prof. Dr. Wahbah
az-Zuhayli, jika ijtihad dilakukan dengan sistem kolektif maka ia adalah
konsensus (Ijma’), namun jika dilakukan secara
individual maka ia adalah silogisme (Qiyas).[9]
Para ulama’ sepakat bahwa ijma’ merupakan dasar pengambilan hukum
setelah al-Qur’an dan hadits Nabi, namun dalam aplikasinya masih terdapat
perbedaan pandangan apakah ijma’ hanya terjadi pada masa sahabat saja atau
apakah ijma’ dapat dilakukan pada masa sekarang.
Sebagaimana dikatakan oleh Yusuf Qardhawi bahwa seyogyanya dalam
menyelesaikan permasalahan baru yang besar tidak cukup dengan ijtihad individu
(fard) tetapi hendaknya melakukan tranformasi
dari ijtihad fard ke ijtihad jama’i
atau yang sekarang dikenal dengan istilah ijtihad kolektif, dimana para ilmuwan
bermusyawarah tentang semua persoalan yang terjadi, terutama hal-hal yang
bercorak umum dan sangat penting bagi mayoritas muslim, karena ijtihad kolektif
lebih mendekati kebenaran daripada pendapat perseorangan. Hanya saja ijtihad
kolektif bukan berarti membunuh ijtihad individu, karena ijtihad kolektif dari
hasil penelitian orisinil yang diajukan oleh setiap mujtahid.[10]
[1] Satria Effendi dan M.
Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005), h. 125
[2] Nasrun
Haroen,. Op Cit., 56-59.
[3] Nasrun
Haroen, Ushul Fiqh (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997,
h 54-56
[4] Abdul Majid Asy-Syarafi,
Ijtihad Kolektif terjemah Syamsuddin TU
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002), h. 14-16.)
[5]
Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta:
Kencana, 2005), 127-128.
[6] Abdul
Majid Asy-Syarafi,. Op. Cit., 18
[7]
Yusuf Qardhawi, Ijtihad Kontemporer (Kode Etik dan
Berbagai Penyimpangannya) (Surabaya: Risalah Gusti, 2000),
h. 6.
[8]
Sulaiman Abdullah Al-Asyqor dan Umar, Nadzaratun Fi
Ushul il-Fiqhi (Yordania: Daar un-Nafais), h. 12
[9] Wahbah Az-Zuhayli, Ushul
ul-Fiqh il-Islami, jilid 1 (Damaskus-Suriah: Daar
ul-Fikr), 486-48
[10] Yusuf
Qardhawi, Ijtihad Kontemporer (Kode Etik dan Berbagai
Penyimpangannya, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), 138-139
" Wallahu 'Alam"
thanks y mterix..!
BalasHapusheri anti@,,ia sama2..makasih juga telah mampir di blognya,,..salam ukhwah y..
Hapus