SADD
AZ-ZARI’YAH
Disusun Oleh : Zainal Masri
09101023
09101023
1. Pengertian Sadd Az-Zari’ah
Kata
sadd menurut bahasa berarti “Menutup”
dan kata az-zari’ah berarti “wahsilah” atau jalan ke suatu tujuan. Dengan
demikian sadd az-zari’ah secara bahasa berarti menutup jalan kepada suatu
tujuan.
Imam
al-satibi mendefenisikan dzari’ah dengan “melakukan suatu pekerjaan yang semula
mengandung suatu kemaslahatan untuk menuju kesuatu kemasadatan.[1]
Maksudnya
adalah seseorang melakukan suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena
mengandung suatu kemaslahatantetapi tujuan yang akan dia capai berahir pada
suatu kemafsadatan.
Menurut
istilah ushul fiqih seperti dikemukakan oleh abdul karim zaidan Sadd Az-Zari’ah
berarti:
انه
من باب منع الوسا ئل المؤديةإلى الفا سد
Artinya:
menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan.[2]
2. Dasar Hukum Sadd Az-Zari’ah
Dasar hukum saad al-dzari’ah
ini terdapat dalam Al-Qur’an dan hadist nabi diantaranya:
- Q.S. Al-An’am ayat 108
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang
mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali
mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”
Pada dasarnya menghina dan mencaci penyembah selain
Allah itu boleh saja, bahkan jika perlu boleh memeranginya. Namun karena
perbuatan mencaci dan menghina itu menyebabkan penyembah selain Allah itu akan
mencaci Allah, maka perbuatan mencaci dan menghina itu menjadi dilarang.
- Q.S an-Nur ayat 31
” janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
Sebenarnya menghentakkan kaki itu boleh-boleh saja
bagi perempuan, namun karena menyebabkan perhiasan yang tersembunyi dapat
diketahui orang sehingga akan menimbulkan rangsangan bagi yang mendengar, maka
menghentakkan kaki itu menjadi terlarang.
2. Q.S al-Baqarah: 104
Dasar hukum saad al-dzari’ah ini juga terdapat
dalam surat al-Baqarah ayat 204 yang artinya: “hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu katakan (kepada Muhammad) ‘raa’ina’, tetapi katakanlah:
‘unzurna’, dan dengarlah.” (Q,S. al-Baqarah:104).
Adanya larangan tersebut dikarenakan ucapan “ra’ina”
oleh orang-orang Yahudi dimanfaatkan untuk mencaci nabi. Oleh karena itu,
kaum muslimin dilarang mengucapkan kalimat itu untuk menghindarkan timbulnya dzari’ah.
3. Sabda Nabi Muhammad SAW tentang larangan menimbun
harta
لا تحتكر الا
خاطئ
“tidak berbuat orang yang menimbun harta kecuali orang
yang berbuat salah”.
Sebab penimbunan harta merupakan dzari’ah
(perantara) yang menyebabkan terjadinya kesulitan/krisis perekonomian dalam
masyarakat.[3]
3. Kehujjahan Sadd
Az-Zari’ah
Meskipun
hampir semua dan penulis ushul fiqih menyinggung tentang sadd az-zari’ah namun
amat sedikit yang membahasnya dalam pembahasan khusus secara tersendiri, ada
yang menempatkan bahasanya dalam deretan dalil-dalil syara’ yang tidak
disepakati oleh ulama. Ditempatkannya al-dzari’ah sebagai salah satu dalil
dalam menempatkan hukum meskipun diperselisihkan penggunaannya mengandung arti
bahwa meskipun syara’ tidak menetapkan secara jelas mengenai hukum suatu
perbuatan , namun karena perbuatan itu ditetapkan sebagai washilah bagi suatu
perbuatan yang dilarang secara jelas maka hal ini menjadi petunjuk atau dalil
bahwa hukum washilah itu adalah sebagaimana hukum yang ditetapkan syara’
terhadap perbuatan pokok. Masalah ini menjadi perhatian ulama karena banyak
ayat-ayat alquran mengisaratkan kearah itu. Umpamanya:
a) Qs. Al-an’am 6: 108
wur (#q7Ý¡n@
úïÏ%©!$#
tbqããôt
`ÏB
Èbrß
«!$# (#q7Ý¡usù
©!$# #Jrôtã
ÎötóÎ/ 5Où=Ïæ 3
y7Ï9ºxx.
$¨Yy
Èe@ä3Ï9
>p¨Bé& óOßgn=uHxå §NèO 4n<Î) NÍkÍh5u óOßgãèÅ_ó£D Oßgã¥Îm7t^ãsù $yJÎ/
(#qçR%x. tbqè=yJ÷èt
ÇÊÉÑÈ
108. Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan
yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali
mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.
Sebenarnya
mencaci dan menghina penyembah selain Allah itu boleh-boleh saja bahkan jika
perlu boleh memeranginya. Namun karena perbuatan mencaci dan menghina itu akan
menyebabkan penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah maka perbuatan
mencaci dan menghina itu menjadi dilarang.
b) QS. Al-Baqarah:104
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ
تَقُولُواْ رَاعِنَا وَقُولُواْ انظُرْنَا وَاسْمَعُوا ْوَلِلكَافِرِينَ عَذَابٌ
أَلِيمٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu katakan (Muhammad): "Raa'ina", tetapi katakanlah:
"Unzhurna", dan "dengarlah". Dan bagi orang-orang yang
kafir siksaan yang pedih.” (QS. Al-Baqarah:104)
Orang-orang
Yahudi menggunakan lafal رَاعِنَا
untuk mencela atau mengumpat Rasulullah
Saw.. Kemudian Allah melarang orang-orang mukmin untuk mengucapkan lafal ini
agar dapat terhindar dari ungkapan yang kiranya dapat mencela RasulullahSaw..
Larangan menggunakan sarana tersebut adalah sadd al-dzarî`ah
c) Qs. Annur 24: 31
wur tûøóÎôØo £`ÎgÎ=ã_ör'Î/ zNn=÷èãÏ9 $tB
tûüÏÿøä
`ÏB
£`ÎgÏFt^Î
4
(#þqç/qè?ur
n<Î)
«!$# $·èÏHsd tmr& cqãZÏB÷sßJø9$#
÷/ä3ª=yès9 cqßsÎ=øÿè?
ÇÌÊÈ
Dan
janganlah mereka (perempuan itu) memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan
yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Sebenarnya
menghentakkan kaki boleh-boleh saja bagi perempuan namun karena menyebabkan perhiasannya
yang tersembunyi dapat diketahui orang sehingga akan menimbulkan rangsangan
bagi yang mendengar maka menghentakkan kaki itu menjadi terlarang.
Dari
dua contoh di atas terlihat adanya larangan bagi perbuatan yang dapat
menyebabkan sesuatu yang terlarang meskipun semula pada dasarnya perbuatan itu
boleh hukumnya.[4]
4. Macam-macam Tingkatan
Sadd Az-Zari’ah
Ada
2 macam pembagian dzariah
1. Dzariah dilihat dari segi kualitas
kemasadat annya
Imam asy-syatibi menyatakan bahwa
dilihat dari segi kualitasnya dibagi kepada 4 macam
a. Perbuatan yang dilakukan itu membawa itu
membawa kepada kemassadatan secara pasti
b. Perbuatan yang dilakukan itu boleh
dilakukan karena jarang membawa kemasadatan
c. Perbuatan yang dilakukan itu biasanya
atau besar kemungkinan membawa kemasadatan
d. Perbuatan itu pada dasarnya boleh
dilakukan karena mengandung kemaslahatantaetapi kemungkinan juga perbuatan itu
membawa kemasadatan
2. Dzariah dilihat dari segi kemasadat nannya yang ditimbulkannya
Menurut ibnu qayyimaljauziyah dzariah
dari segi ini terbagi kepada
a. Perbuatan itu membawa kepada ke suatu
kemasadatan seperti meminum minuman keras yang mengakibatkan mabuk dan
mabuk itu kesuatu kemasadatan
b. Perbuatan itu pada dasarnya perbuatan
yang di bolehkan atau dianjurkan tetapi jalan untuk melakukan suatu perbuatan
yang haram bai dengan tujuan yang disengaja atau tidak.[5]
5. Aplikasi Sadd Az-Zari’ah di Zaman
Kotenporer
Banyak
sekali kasus sehari-hari yang sebenarnya merupakan salah satu contoh
kasus Saddul Adz Dzari’ah. Hanya saja karena istilahnya yang kurang
populer sehingga masyarakat kurang memperhatikannya.
Contoh
Dalam Kehidupan Sehari-Hari
1)
Perbuatan yang akibatnya pasti
menimbulkan kerusakan atau bahaya. Maka hukumnya dilarang secara kesepakatan
ulama’.
Contoh:
menggali lubang dibelakang pintu rumah atau dijalan umum.
2)
Perbuatan yang menurut dugaan kuat
akan menimbulkan bahaya, atau pada kebiasaannya berakibat kerusakan. Hukumnya
haram.
Contoh: menjual senjata dimasa
perang atau banyak fitnah, menjual anggur untuk membuat khamr.
3)
Perbuatan yang kebanyakan mengarah
pada kerusakan tetapi tidak sampai pada tingkat tinggi. Ulama’ berbeda dalam menghukuminya,
apakah ditarjihkan yang haram atau yang halal. Imam Malik dan Imam Ahmad
menetapkan keharamannya.
Contoh:
menjual sesuatu yang didalamnya ada barang riba.
4)
Perbuatan yang jarang berakibat
kerusakan atau bahaya. Maka dalam hal ini hukumnya diperbolehkan.
Contoh:
melihat lain jenis disaat melamar.[6]
[1] Nasrun Haroen,
Ushul Fiqih, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.161
[2] Satria efendi,
Ushul Fiqih, (jakarta: kencana, 2005), h 172
[3] Amir
Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008
cet. 4 h. 399
[4] Amir Saripudin,
Ushul Fiqih 2, (Jakarta: Kencana, 2009),
h. 425-427
[5] Totok Jumantoro,
Kamus Ushul Fiqih, (Jakarta: Amzah), h. 295
perpaduan warna tampilan tulisannya kurang pas,, agak sulit tuk dibaca,, masa ia,,monitor laptox mesti direbahin terus baru bisa kebaca,, heehe,, tpi makasih ya postingannya membantu saya
BalasHapusehm..,,ia sama2, maaf juga jika makalah nya kurang sempurna.., mkasih atas sarannya,,
BalasHapusoh y,, trus apa warna tampilannya yg bagus??...
animasi petirnya di buang aja karena mengganggu yang baca
BalasHapus