Nama : Zainal Masri
Nim : 09 101 023
Prodi : PAI. A
AL- AHKAM AL- SYAR’IYAH
A. Hukum syara’
Pengertian hukum syara’
Pengertian secara bahasa adalah :
اِثْباَتُ شَيءٍ الِىَ شَيءٍ
“Menetapkan sesuatu atas sesuatu, atau memindahkan sesuatu daripadanya.”
“Menetapkan sesuatu atas sesuatu, atau memindahkan sesuatu daripadanya.”
Syar’i atau syari’at dari segi bahasa berarti jalan, sedangkan menurut istilah Ahli Ushul Fiqih, hukum ialah :
خِطَابُ اللهِ اْلمُتَعَلِّقُ بِأَفْعَالِ الْمُكَلِّفِيْنَ طَلَبًا اَوْ تَخْيِيْرًا اَوْ وَضْعًا
“Khitab (titah) Allah atau sabda Nabi Muhammad SAW yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (orang yang telah baligh dan berakal), baik tuntutan )suruhan, larangan( atau takhyir (pilihan mengerjakan atau meninggalkan), atau wadh’i (menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi suatu hukum.)”
“Khitab (titah) Allah atau sabda Nabi Muhammad SAW yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (orang yang telah baligh dan berakal), baik tuntutan )suruhan, larangan( atau takhyir (pilihan mengerjakan atau meninggalkan), atau wadh’i (menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi suatu hukum.)”
Berdasar definisi ini, Ulama Ushul Fiqih membagi hukum syariat menjadi dua macam, yaitu hukum taklifi (thalaban wa takhyiran) dan wadh’i.(amir, 1997: 284)
Jadi berdasarkan berdasarkan uraian diatas defenisi hukum syar’I adalah titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku orang mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan untuk memperbuat dan ketentuan-ketentua. Dari defenisi ini dapat dipahami bahwa yang membuat hukum adalah Allah SWT.
Tentang kedudukan Allah sebagai satu-satunya pembuat hukum dalam pandangan Islam tidak ada perbedaan pendapat dikalangan umat islam. Masalahnya bahwa Allah sebagai pembuat hukum berada dalam alam yang berbeda dengan manusia yang akan menjalankan hukuman itu. Apakan manusia sendiri dapat mengenal hukum allah itu, dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama
Pembagian hukum
a. Hukum Taklifi
Pengertian hukum taklifi adalah :
“Hukum yang menetapkan tuntutan melakukan sesuatu, atau tuntutan meninggalkan sesuatu, atau pilihan melakukan atau meninggalkan sesuatu, kepada seorang mukallaf.” Maka hukum taklifi ada tiga yakni:
“Hukum yang menetapkan tuntutan melakukan sesuatu, atau tuntutan meninggalkan sesuatu, atau pilihan melakukan atau meninggalkan sesuatu, kepada seorang mukallaf.” Maka hukum taklifi ada tiga yakni:
1) tuntutan melakukan secara pasti
2) tuntutan melakukan secara tidak pasti
2) tuntutan meninggalkan,
3) pilihan: melakukan atau meninggalkan
Contoh hukum taklifi:
Contoh hukum taklifi:
a) Tuntutan mengerjakan suatu perbuatan : berpuasa pada bulan Ramadhan. QS Al-Baqarah : 183.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah/2 : 183)
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah/2 : 183)
b) Tuntutan meninggalkan suatu perbuatan : Berkata tidak sopan kepada orang tua.
…فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا ….
…Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka… (QS Al-Isra’/17 : 23)
…فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا ….
…Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka… (QS Al-Isra’/17 : 23)
c) Tuntutan memilih: mengerjakan atau meninggalkan perbuatan : Mengqashar shalat ketika bepergian jauh : QS. An-Nisa : 101.
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا…
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir” (QS An-Nisa’/4 : 101)
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا…
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir” (QS An-Nisa’/4 : 101)
Bila dikaitkan dengan tegas atau tidaknya titah Allah, Ulama Ushul Fiqih membedakan tiga macam hukum taklifi diatas menjadi lima (5) macam hukum:
1. Iijab: Kalau titah Allah itu tegas menuntut untuk melakukan. Sedang hukum melakukan perbuatan itu menjadi wajib.
2. Dilihat dari segi waktu pelaksanaannya, wajib ada 4 macam, yaitu :
a. Wajib muwaqqat, yaitu kewajiban yang ditentukan batas waktu untuk melaksanakannya, seperti shalat fardhu yang lima waktu, kapan mulai dan berakhirnya waktu sudah ditentukan.
b. Wajib muwassa’, yaitu waktu untuk melaksanakan kewajiban memmpunyai waktu yang luas. Seperti waktu untuk melaksanakan shalat dzuhur kurang lebih 3 jam, tetapi waktu yang diperlukan untuk melakukan sholat tersebut cukup 5-10 menit saja.
c. Wajib mudhoyaq, yaitu waktu yang disediakan untuk melaksanakan untuk melaksanakan kewajiban sangat terbatas. Seperti puasa Ramadhan lamanya 1 bulan.
d. Wajib mutlak, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas waktu untuk melaksanakannya. Seperti kewajiban membayar kifarat bagi orang yang melanggar sumpah.
3. Dilihat dari segi orang yang dituntut mengerjakan, wajib dibagi sebagai berikut.
· Wajib ‘Ain, artinya kewajiban yang harus dikerjakan tiap-tiap mukallaf. Seperti : shalat, puasa, zakat, dan lain-lain.
· Wajib kifayah, artinya kewajiban yang boleh dilakukan oleh sebagian mukallaf (boleh diwakili oleh kelompok tertentu).
Contoh : mengurus jenazah, menjawab salam, dan lain-lain.
4. Dilihat dari segi kadar (ukuran kuantitasnya) wajib dibagi menjadi berikut ini.
v Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang sudah ditentukan kadarnya.
Contoh : jumlah rakaat dalam shalat, jumlah besarnya zakat.
Contoh : jumlah rakaat dalam shalat, jumlah besarnya zakat.
v Wajib ghoiru muhaddad, yaitu kewajiban yang belum ditentukan kadarnya.
Contoh : infaq, tolong menolong, dan shodaqoh.
Contoh : infaq, tolong menolong, dan shodaqoh.
5. Dilihat dari segi tertentu atau tidaknya yang diwajibkan, wajib dibagi menjadi berikut ini.
Ø Wajib mu’ayyan, yaitu kewajiban yang telah ditentukan jenis perbuatannya.
Contoh : shalat, puasa, zakat fitrah.
Contoh : shalat, puasa, zakat fitrah.
Ø Wajib mukhoyyar, yaitu wajib tetapi boleh memilih di antara beberapa pilihan.
Contoh : Kifarat bagi orang yang berkumpul suami istri di siang hari Ramadhan boleh memilih memerdekakan budak, bila tidak mampu maka berpuasa 2 bulan berturut-turut, bila tidak mampu berpuasa maka memberi makan 60 fakir miskin.
Contoh : Kifarat bagi orang yang berkumpul suami istri di siang hari Ramadhan boleh memilih memerdekakan budak, bila tidak mampu maka berpuasa 2 bulan berturut-turut, bila tidak mampu berpuasa maka memberi makan 60 fakir miskin.
Bentuk-bentuk hukum taklifi Menurt umhur ulama ushul fiqih /mutakallimin adalah:
1. الايجاب yaitu tuntutan sercara pasti dari syar,i untuk dilaksanakan dan tidak boleh (dilarang) ditinggalkan karena orang yang meninggalkannya dukenai hukuman. Minsalnya dalam QS. Albaqarah: 110
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qŸ2¨“9$# 4
Dan Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat..
2. Nadb (الندب), yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan tetapi tuntutan itu tidak secara pasti. Seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannyakarena orang yang meninggalkannya tidak dikenakan hukuman, yang dituntut untuk dikerjakan itu disebut mandub (المندوب), sedangkan akibat dari tuntutan itu disebut nadb, minsalnya dalam surat albaqarab ayat 282
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#y‰s? Aûøïy‰Î/ #’n<Î) 9@y_r& ‘wK|¡•B çnqç7çFò2$$sù 4
282. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
3. Ibahah (الا با حه), yaitu khitab allah yang mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat akibat dari khitab allah ini disebut juga dengan ibahah dan buatan yang boleh dipilih itu adalah mubah, minsalnya firman allah dalam surat aljumah ayat 10
#sŒÎ*sù ÏMuŠÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãϱtFR$$sù ’Îû ÇÚö‘F{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.øŒ$#ur ©!$# #ZŽÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÈ
10. Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
4. Karahah (الكراهة), yaitu tuntunan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntunan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak pasti. Minsalnya sabda rasulullah SAW:
ابغض الحلال عندالله الطلاق
Perbuatan halal yang dibenci allag adalah talak (HR. Abu daud, ibn majah, albaihaki dan hakim)
5. Tahrim (التحر يم), yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Akibat dari tuntutan ini disebut hurmah, dan perbuatan yang dituntut itu disebut dengan haram. Minsalnya firman allah dalam surat al anam ayat 151
Ÿwur (#qè=çGø)s? š[øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ 4
dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar
Maksudnya yang dibenarkan oleh syara' seperti qishash membunuh orang murtad, rajam dan sebagainya.(nasrun haroen, 1996:210-213)
b. Hukum Wadh’I
Hukum wadh’i yaitu hukum yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan penghalang untuk berlakunya suatu hukum. Para ulam ushul fiqih menyatakan bahwa hukum wadhi’ itu ada 5 macam:
Hukum wadh’i yaitu hukum yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan penghalang untuk berlakunya suatu hukum. Para ulam ushul fiqih menyatakan bahwa hukum wadhi’ itu ada 5 macam:
1) Sebab السبب Yaitu sesuatu yang jelas adanya mengakibatkan adanya hukum, sebaliknya tidak adanya mengakibatkan tidak adanya hukum. Contohnya, perbuatan zina mengakibatkan adanya hukum dera.
2) Syarat الشرطyaitu sesuatu yang harus ada sebelum ada hukum, karena adanya hukum bergantung kepadanya. Tidak adanya “syarat” mengakibatkan tidak ada hukum. Akan tetapi, dengan adanya “syarat” tidak mesti ada hukum. Contohnya, berwudhu merupakan syarat sahnya shalat.
3) Mani’ الم نع(Penghalang) Yaitu sesuatu yang karenanya menyebabkan tidak adanya hukum. Meskipun sebab telah ada, dan syarat telah terpenuhi, akan tetapi apabila terdapat mani’ maka hukum yang semestinya bisa diberlakukan menjadi tidak bisa diberlakukan.
4) الصحه (shihah), yaitu suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’ yaitu terpenuhinya sebab syarat dan tidak ada mani’. Minsalnya mengerjakan sholat zuhur setelah tergelincir mata hari (sebab) dan telah berwudhu (syarat) dan tidak ada halangan bagi orang-orang yang mengerjakannya (tidak haid, nifas dsb.dalam contoh ini pekerjaan yang dikerjakan itu hukumnya sah.oleh sebab itu apabila sebab tidak ada dan syarat tidak terpenuhi maka sholat itu tidak sah, sekalipun mani’nya tidak ada.
5) الباطل(bathil), yaitu terlepasnya hukum syara dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat yang ditimbulkannya. Minsalnya memperjualbelikan minuman keras. Akad ini dipandang batal karena minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan syara'
A. Hakim
Secara etimologi hakim mempunyai dua pengertian yaitu:
a.
واضعالاحكا مومثبتها ومنشئها ومصدرها
Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum
b. الذي يدرك الآحكا م ويظهر ها ويعرفها ويكشف عنها
Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan hukum
Hakim merupakan persoalan mendasar dalam ushul fiqih karena berkaitan dengan siapa pembuat hukum sebenarnya dalam syariat islam. Siapakah yang menentukan hukum syara’ yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya selain wahyu, apakah akal sebelum datangnya wahyu mampu menentukan baik buruknya sesuatu, sehingga orang tidak berbuat baik diberi pahala dan orang yang berbuat buruk dikenakan sanksi. Dalam ilmu ushul fiqih hakim juga disebut dengan syari’(Nasrun haroen,1996:285).
Dari pengertian pertama diatas hakim adalah allah SWT. Dialah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang dititahkan kepada seluruh mukhallaf.
Ulama ushul fiqih menetapkan sebuah kaedah yang berbunyi:
لاحكم الاالله
Tidak ada hukum kecuali bersumber dari allah
Dari pemahaman ini pulalah mereka mendefenisikan hukum sebagai titah allah SWT, yang berkaitan dengan perbuatan orang mukhallaf baik berupa tuntutan, pemilihan maupun wadhi’ (abdul wahab khallaf: h.108)
Alasannya adalah:
1. Qs. Alan’am: 57
ö4 ÈbÎ) ãNõ3ßÛø9$# žwÎ) ¬! ( Èà)tƒ ¨,ysø9$# ( uqèdur çŽöyz tû,Î#ÅÁ»xÿø9$# ÇÎÐÈ
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. dia menerangkan yang Sebenarnya dan dia pemberi Keputusan yang paling baik".
2. Qs. Almaidah: 49
Èbr&ur Nä3ôm$# NæhuZ÷t/ !$yJÎ/ tAt“Rr& ª!$# Ÿwur ôìÎ7®Ks? öNèduä!#uq÷dr&
49. Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.
3. Qs. Almaidah: 44
4 `tBur óO©9 Oä3øts† !$yJÎ/ tAt“Rr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$# ÇÍÍÈ
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.
4. Hukum suatu perkara hendaklah merujuk kepada alquran dan sunnah.
Dalam kaitannya dengan ini allah SWT berfirman
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãè‹ÏÛr& ©!$# (#qãè‹ÏÛr&ur tAqß™§9$# ’Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt“»uZs? ’Îû &äóÓx« çnr–Šãsù ’n<Î) «!$# ÉAqß™§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur ÌÅzFy$#
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian..
5. Allah menafikkan iman seseorang sampai ia rela menetapkan hukum sesuai dengan kehendak allah dan rela dengan hukum-hukum allah itu. Qs.annisa: 65
Ÿxsù y7În/u‘ur Ÿw šcqãYÏB÷sム4Ó®Lym x8qßJÅj3ysム$yJŠÏù tyfx© óOßgoY÷t/ §NèO Ÿw (#r߉Ågs† þ’Îû öNÎhÅ¡àÿRr& %[`tym $£JÏiB |MøŠŸÒs% (#qßJÏk=|¡ç„ur $VJŠÎ=ó¡n@ ÇÏÎÈ
65. Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
B. Mahkum fih / bih
1. Pengertian Mahkum Bihi / Mahkum Fihi (مَحْكُوم بِهِ \ مَحْكُوم فِيْه ِ)
المَحْكُومُ فِيْهِ : هُوَ الفِعْلُ الُمكَلَّفِ الَّذِى تَعَلَّقَ بِهِ حُكْمُ الله
“Mahkum fiihi adalah perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan hukum Allah (hukum syara’) dan rasulnya yang bersifat tuntutan mengerjakan , tuntutan meninggalkan suatu pekerjaan, memilih suatu pekerjaan dan yang bersifat syarat sebab, halangan, azimah, rukshah, sah dan bathal”
Mahkum fiihi juga diartikan perbuatan orang mukhallaf sebagai tempat menghubungkan hukum syara’. Minsalnya ayat 1 surat almaidah allah berfirman:
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& ÏŠqà)ãèø9$$Î/ 4 ôM¯=Ïmé& Nä3s9 èpyJŠÍku5 ÉO»yè÷RF{$# žwÎ) $tB 4‘n=÷FムöNä3ø‹n=tæ uŽöxî ’Ìj?ÏtèC ωøŠ¢Á9$# öNçFRr&ur îPããm 3 ¨bÎ) ©!$# ãNä3øts† $tB ߉ƒÌムÇÊÈ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[388]. dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
Yang menjadi objek perintah dalam ayat tersebut adalah perbuatan orang mukhallaf yaitu perbuatan menyempurnakan janji yang diwajibkan dengan ayat tersebut.(Satria Efendi: 2005:73-74)
Para ahli Ushul Fiqih menyebutnya dengan Ahkamul Khomsah (hukum yang lima) yaitu:
1. Yang berhubungan dengan ijab dinamai wajib.
2. Yang berhubungan dengan nadb dinamai mandub/ sunat
3. Yang berhubungan dengan tahrim dinamai haram
4. Yang berhubungan dengan karahah dinamai makruh
5. Yang berhubungan dengan ibahah dinamai mubah.
Contoh firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa.” (QS al-Baqoroh/2 : 183)
Firman Allah SWT di atas berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf yaitu berpuasa, status hukumnya adalah wajib.
2. Syarat-syarat Mahkum bihi
Syarat-syarat mahkum bihi / fihi adalah sebagai berikut:
a. Hendaknya perbuatan itu diketahui dengan jelas oleh orang mukallaf sehingga ia dapat melaksanakannya sesuai dengan tuntutan syara’.
b. Hendaknya perbuatan itu dapat diketahui oleh orang mukallaf bahwa benar-benar berasal dari Allah SWT sehingga dalam mengerjakannya ada kehendak dan rasa taat kepada Allah SWT.
c. Taklif / perbuatan itu merupakan sesuatu yang mungkin terjadi atau dapat dilakukan oleh mukallaf sesuai kadar kemampuannya. Karena tidak ada taklif terhadap sesuatu yang mustahil atau tidak mungkin terlaksana. Misalnya, tidak mungkin manusia diperintahkan untuk terbang seperti burung.
d. Taklif / perbuatan itu dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan lainnya, supaya dapat ditunjukkan atau ditentukan niatnya secara tepat.
C. Mahkum alaih
· Pengertian Mahkum Alaih
Yang dimaksud dengan Mahkum Alaih adalah mukallaf yang menjadi obyek tuntunan hukum syara’ (Syukur, 1990: 138). Menurut ulama’ ushul fiqh telah sepakat bahwa mahkum Alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai kitab Allah, yang disebut mukallaf (Syafe’I, 2007: 334). Sedangkan keterangan lain menyebutkan bahwa Mahkum Alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasakan tuntutan Allah itu
Jadi, secara singkat dapat disimpulkan bahwa Mahkum Alaih adalah orang mukallaf yang perbuatannya menjadinya tempat berlakunya hukum Allah.
· syarat-syarat Mahkum Alaih, antara lain adalah:
Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantara orang lain
Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantara orang lain
· Orang tersebut ahli bagi apa yang ditaklifkan kepadanya (Alaidin Koto, 2006: 157-158)
D. Ahliyah
1. Pengertian ahliyah
Secara harfiah (etimologi) ahliyah berarti kecakapan menangani suatu urusan, misalnya orang yang memiliki kemampuan dalam suatu bidang maka ia dianggap ahli untuk menangani bidang tersebut. Adapun secara terminologi menurut para ahli ushul fiqh ahliyah adalah suatu sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syara’ untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.
Secara harfiah (etimologi) ahliyah berarti kecakapan menangani suatu urusan, misalnya orang yang memiliki kemampuan dalam suatu bidang maka ia dianggap ahli untuk menangani bidang tersebut. Adapun secara terminologi menurut para ahli ushul fiqh ahliyah adalah suatu sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syara’ untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa ahliyah adalah sifat yang menunjukkan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’ (Syafe’i, 2007: 339).
2. Pembagian Ahliyah
Menurt para ulama’ ushul fiqh, ahliyah (kepantasan) itu ada dua macam yaitu:
Menurt para ulama’ ushul fiqh, ahliyah (kepantasan) itu ada dua macam yaitu:
a. Ahliyatul Wujub (kecakapan untuk dikenai hukum) yaitu kepantasan seorang untuk menerima hak-hak dan dikenai kewajiban. Kecakapan dalam bentuk ini berlaku bagi setiap manusia, semenjak ia lahir sampai meninggal dalam segala sifat, kondisi, dan keadaannya.
b. Ahliatul Ada’ (kecakapan untuk menjalankan hukum) yaitu kepantasan seseorang untuk diperhitungkan segala tindakannya menurut hukum. Hal ini berarti bahwa segala tindakannya, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan telah mempunyai akibat hukum (Sutrisno, 1999: 106-109)
3. Halangan Ahliyah
Ulama ushul fiqh menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang bisa berubah berubah disebabkan hal-hal berikut:
Ulama ushul fiqh menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang bisa berubah berubah disebabkan hal-hal berikut:
a. Awaridh as-samawiyah, yaitu halangan yang datangnya Allah disebabkan perbuatan manusia.
b. Awaridh al-muktasabah, maksudnya halangan yang disebabkan perbuatan manusia. (Syafe’i, 2007: 340)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar